Lapangan gas Natuna, berlokasi di perairan Indonesia, diperkirakan memiliki volume raw gas-in-place sekitar 222 triliun standar kubik kaki (TSCF) (Fenter, 1996). Namun, lapangan gas ini belum dapat diproduksi secara ekonomis. Kendala utamanya adalah karena lapangan gas ini memiliki kandungan karbondioksida (CO2) yang tinggi yaitu sekitar 71% dari total komposisi gas yang ada. Dibutuhkan proses pemisahan yang terdepan dan perlakuan yang khusus untuk mengatasi kendala tersebut. Teknologi terdepan sekarang ini sudah dikembangkan untuk memisahkan gas seperti Cyrogenic, Cyrocell dan Syngas. Meskipun demikian, teknologi ini mahal dalam segi biaya untuk diimplementasikan di lapangan.
Salah satu teknologi alternatif untuk memisahkan kandungan CO2 adalah dengan memanfaatkan finger-type slug catcher di dasar laut. Idenya adalah dengan merubah fasa CO2 menjadi fasa cairan dengan perlakuan pada kondisi suhu dasar laut yang rendah, kondisi operasi tekanan yang tinggi dan dipertahankan pada rezim aliran yang stratified. Finger-type slug catcher di dasar laut merupakan sistem pipa paralel yang terbuat dari pipa dan perlengkapan yang didesain untuk memisahkan volume fluida yang besar.
Penelitian ini menampilkan sensitivitas pada diameter finger dan tekanan operasi untuk model finger-type slug catcher di dasar laut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa diameter finger yang semakin besar dan tekanan operasi yang semakin tinggi akan berkontribusi pada pembentukan cairan CO2 yang lebih banyak. Pengotor pada CO2 mempengaruhi faktor kompresibilitas gas dan hal tersebut menentukan jumlah pembentukan mol liquid dari CO2. Tekanan operasi yang tinggi juga berpengaruh pada penurunan laju produksi gas. Namun, kondisi tekanan operasi yang tinggi ini akan berdampak pada persentase mol gas CO2 yang lebih sedikit ketika diproduksikan.
Keterbaruan dari studi ini adalah mengusulkan pendekatan baru dalam mendesain pemisahan CO2 dengan mengimplementasikan finger-type slug catcher yang diletakkan di dasar laut menggunakan transient-dynamic model.