COVER Angga Supra Indra
PUBLIC Alice Diniarti BAB 1 Angga Supra Indra
PUBLIC Alice Diniarti BAB 2 Angga Supra Indra
PUBLIC Alice Diniarti BAB 3 Angga Supra Indra
PUBLIC Alice Diniarti BAB 4 Angga Supra Indra
PUBLIC Alice Diniarti BAB 5 Angga Supra Indra
PUBLIC Alice Diniarti BAB 6 Angga Supra Indra
PUBLIC Alice Diniarti PUSTAKA Angga Supra Indra
PUBLIC Alice Diniarti
Salah satu konsep pengembangan wilayah yang cocok digunakan di negara
berkembang termasuk di Indonesia adalah konsep agropolitan, yang merupakan
konsep pengembangan wilayah berbasis pertanian yang berkembang melalui
keterpaduan sistem agribisnis sebagai penggerak perekonomian wilayah.
Pendekatan pengembangan wilayah melalui agropolitan ini dapat berhasil apabila
sektor yang dikembangkan sesuai dengan keunikan lokal dan memiliki keunggulan
kompetitif. Salah satu lokasi pengembangan kawasan agropolitan di Indonesia
adalah Kabupaten Belitung yang dirintis pada tahun 2003, melalui basis agribisnis
komoditas lada (Muntok White Pepper) sebagai komoditas unggulan daerah
berorientasi ekspor. Namun, sebagai salah satu daerah sentra produksi lada di
Indonesia, kegiatan agribisnis lada di Kabupaten Belitung cenderung tidak
berkembang, dengan penyebab antara lain: teknik budidaya secara tradisional,
adanya alih fungsi lahan, serta kurangnya prasarana dan sarana pendukung kegiatan
agribisnis. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya volume ekspor lada Indonesia
sebesar 0,15% pertahun. Untuk mempertahankan eksistensi kawasan agropolitan
berbasis perkebunan lada, maka diperlukan kesiapan sumber daya manusia sebagai
pelaku utama kegiatan agribisnis yang didukung oleh pemerintah, serta
ketersediaan sumber daya lahan guna keberlanjutan kawasan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kesiapan sumber daya pertanian
yang meliputi sumber daya manusia (SDM) petani dan sumber daya lahan, serta
kesiapan Pemerintah Kabupaten Belitung dalam mendukung pengembangan
kawasan agropolitan berbasis komoditas lada putih. Penelitian dilaksanakan di
Kecamatan Membalong sebagai kawasan agropolitan, yang memiliki areal
mencakup 78% dari total luasan perkebunan lada se-kabupaten. Data yang
digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer
berupa kuesioner, wawancara dan observasi lapang, sementara data sekunder
berupa dokumen dan laporan terkait pengembangan kawasan agropolitan di
Kabupaten Belitung. Responden pada penelitian ini berjumlah 91 orang petani yang
tergabung dalam kelompok tani lada, sementara informan pada penelitian ini terdiri
dari pelaku utama, pelaku usaha serta unsur pemerintah. Penelitian ini
ii
menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif, dengan metode analisis yang
digunakan antara lain: 1) analisis statistik deskriptif untuk mengidentifikasi
kesiapan petani lada berdasarkan kompetensi kognitif, fungsional dan sosial dalam
keterpaduan sistem agribisnis yang terdiri dari subsistem hulu (up-stream
agribusiness), subsistem primer (on-farm agribusiness), subsistem hilir (downstream
agribusiness), subsistem pemasaran dan subsistem penunjang; 2) analisis
spasial untuk mengindentifikasi kesiapan lahan mencakup kondisi aktual serta
ketersediaan lahan potensial; dan 3) analisis isi untuk mengidentifikasi kesiapan
pemerintah terhadap kebijakan, program dan penyuluhan dalam kawasan
agropolitan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa SDM petani, sumber daya lahan dan
pemerintah daerah belum sepenuhnya siap dalam mendukung pengembangan
kawasan agropolitan berbasis lada di Kecamatan Membalong, serta pentingnya
peran pemerintah dalam menentukan kemampuan SDM petani pada keseluruhan
sistem agribisnis. Pada faktor dukungan pemerintah, tidak adanya organisasi
pengelola kawasan (Pokja/Tim Teknis) tingkat kabupaten menyebabkan tidak
optimalnya sosialisasi, sinkronisasi dan implementasi rencana pengembangan serta
aktivitas pembangunan dalam kawasan agropolitan. Minimnya pembiayaan juga
mengakibatkan fasilitasi agribisnis terbatas pada subsistem hulu dan primer. Pada
faktor sumber daya manusia, kompetensi petani lada hanya kuat pada subsistem
hulu dan primer, sementara subsistem hilir dan pemasaran tidak berkembang. Di
samping itu, tidak berkembangnya lembaga keuangan mikro sebagai sumber
permodalan berbasis masyarakat, menyebabkan adanya ketergantungan petani
kepada pedagang pengumpul sehingga terjalin keterikatan sosial yang
mempengaruhi subsistem hulu hingga pemasaran. Pada faktor sumber daya lahan,
pola budidaya yang tersebar dan nomaden menjadi kendala dalam pengembangan
sentra produksi, sementara potensi lahan sebesar 15.656 ha untuk pengembangan
perkebunan lada di Kecamatan Membalong belum sepenuhnya dimanfaatkan.
Meskipun memiliki keunggulan komparatif (lahan potensial) dan kompetitif (lada
putih), namun ketidaksiapan SDM serta dukungan pemerintah dalam
mengembangkan kegiatan agribisnis lada secara terpadu sebagai penggerak
perekonomian wilayah, dengan sendirinya akan menghambat perkembangan
kawasan agropolitan.