digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Pelumas merupakan salah satu komponen penting yang digunakan dalam kendaraan bermotor. Pelumas dapat digunaan untuk menurunkan gesekan mesin, pendingin, pencegah terjadinya korosi pada mesin, dll. Meningkatnya jumlah kendaraan bermotor berarti meningkat pula permintaan akan pelumas yang menyebabkan harga pelumas menjadi meningkat yang pada akhirnya akan menambah jumlah limbah pelumas bekas. Pelumas yang sudah tidak layak pakai akan menjadi limbah, biasanya hanya disimpan atau bahkan ada yang dibuang ke lingkungan sehingga mencemari lingkungan. Oleh karena itu, pelumas yang digunakan pada kendaraan bermotor ini harus diusahakan digunakan hingga habis masa pakainya, hal ini dapat menghemat biaya dan mengurangi jumlah pencemaran. Di sisi lain penggunaan pelumas yang sudah tidak layak pakai dapat menyebabkan kerusakan pada mesin yang dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar. Oleh karena itu dibutuhkan suatu metode pengujian kelayakan pelumas bekas untuk mengetahui apakah pelumas tersebut masih dapat dipakai atau harus sudah diganti. Beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan kelayakan suatu pelumas bekas dapat dilihat berdasarkan nilai soot, oksidasi, nitrasi dan sulfasi. Soot merupakan endapan yang dapat menghambat pergerakan mesin dan juga dapat menyimpan panas lebih lama sehingga fungsi pelumas sebagai pendingin mesin tidak dapat berjalan dengan efektif. Panas dan tekanan tinggi yang terdapat di dalam mesin dapat mempercepat terjadinya oksidasi pada pelumas yang dapat membentuk senyawa asam dan mempercepat terbentuknya soot. Nitrogen dan belerang yang terdapat di dalam pelumas dapat mengalami oksidasi yang dikenal dengan nama nitrasi dan sulfasi. Nitrogen yang teroksidasi dapat membentuk oksida nitrogen (NOx) sedangkan belerang yang teroksidasi dapat membentuk oksida belerang (SOx). Oksida-oksida ini merupakan prekursor asam yang apabila bereaksi dengan uap air yang terdapat di dalam mesin dapat membentuk asam nitrat dan asam sulfat. Senyawa asam ini dapat menyebabkan korosi pada mesin dan juga mempercepat terbentuknya soot. Keempat parameter ini yaitu soot, oksidasi, nitrasi dan sulfasi dapat dianalisis dengan menggunakan FTIR (Fourier Transform Infrared Spectroscopy) dengan teknik HATR (Horizontal Attenuated Total Reflectance) karena masing-masing parameter memiliki puncak yang karakteristik. Soot memberikan puncak pada bilangan gelombang 2000cm-1, oksidasi pada 1700cm-1, nitrasi pada 1600cm-1, sulfasi pada 1150cm-1. Nilai absorbansi dari bilangan gelombang tiap parameter dialurkan kedalam suatu kurva untuk membentuk kurva kalibrasi. Kurva kalibrasi ini ditinjau dari dua sisi yaitu berdasarkan nilai absorbansi pada titik puncak dan juga berdasarkan luas daerah puncak. Untuk luas daerah, soot berada pada rentang bilangan gelombang 1750-2250cm-1, oksidasi pada 1650-1750cm-1, nitrasi pada 1550-1650cm-1 dan sulfasi pada 1100-1200cm-1. Dalam pembuatan penelitian kurva kalibrasi, dibuat dengan cara mencampurkan pelumas baru dan pelumas bekas untuk komposisi campuran 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90 dan 100%. Homogenisasi dilakukan dengan dua cara yaitu secara manual dengan menggunakan batang pengaduk dan secara otomatis dengan menggunakan magnetic stirrer. Pengadukan secara manual dilakukan sebanyak dua kali. Pada tahap awal pengadukan, hanya dilakukan hingga tidak terlihat lagi perbedaan antara pelumas baru dan pelumas bekas. Namun dengan cara ini hanya menghasilkan R2 sebesar 0,5. Nilai R2 ini belum memenuhi syarat untuk digunakan sebagai kurva kalibrasi. Selanjutnya pengadukan secara manual diperpanjang waktunya hingga mencapai 5 menit untuk setiap komposisi pelumas bekas yang dimiliki. Dengan teknik homogenisasi ini, diperoleh nilai R2 yang jauh lebih baik dibandingkan pengadukan awal yaitu 0,95. Namun dengan teknik ini, dibutuhkan waktu yang banyak dan kerja. Oleh karena itu dilakukan pengadukan secara otomatis dengan menggunakan magnetic stirrer. Untuk tahap pertama dilakukan pengadukan selama 5 menit dan diperoleh nilai R2 0,93. Namun nilai ini lebih kecil dibandingkan dengan pengadukan manual. Oleh karena itu, waktu pengadukan diperpanjang hingga 10 menit dan diperoleh nilai R2 0,96. Dari data homogenisasi menggunakan magnetic stirrer selama 10 menit ini dievaluasi kurva kalibrasi yang baik digunakan adalah kurva kalibrasi yang berdasarkan nilai absrobansi pada titik puncak atau berdasarkan luas daerah. Untuk nilai soot berdasarkan nilai absorbansi pada titik puncak diperoleh persamaan garis y = 0,0002x + 0,0374 dengan R2 = 0,9681 sedangkan berdasarkan luas daerah diperoleh persamaan garis y = 0,0826x + 19,132 dengan R2 = 0,9676. Untuk oksidasi pada titik puncak diperoleh persamaan garis y = 0,0002x + 0,0415 dengan R2 = 0,9652 sedangkan berdasarkan luas daerah diperoleh persamaan garis y = 0,0191x + 4,0435 dengan R2 = 0,9709. Untuk nitrasi pada titik puncak diperoleh persamaan garis y = 0,0002x + 0,0597 dengan R2 = 0,9583 sedangkan berdasarkan luas daerah diperoleh persamaan garis y = 0,0185x + 5,4348 dengan R2 = 0,957. Untuk sulfasi pada titik puncak diperoleh persamaan garis y = 0,0004x + 0,0696 dengan R2 = 0,987 sedangkan berdasarkan luas daerah diperoleh persamaan garis y = 0,0339x + 6,6636 dengan R2 = 0,9866. Dari data ini, dapat dilihat bahwa nilai R2 dari cara titik puncak sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan luas daerah namun dari nilai gradien, terlihat bahwa gradien kurva kalibrasi berdasarkan luas daerah jauh lebih besar dibandingkan dengan cara titik puncak sekitar 100 kali dari cara absorban padaluas daerah sehingga dapat disimpulkan bahwa kurva kalibrasi dari luas daerah lebih baik dibandingkan dari titik puncak.