digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Indonesia memiliki sejarah panjang dalam industri minyak dan gas bumi (migas) dengan keragaman basin geologis yang terus menawarkan potensi yang berlimpah. Namun, produksi minyak mentah Indonesia terus menurun selama satu dekade terakhir. Penurunan disebabkan penuaan alami dari lapangan minyak, tingkat pembaruan cadangan yang lebih lambat dan dapat dikatakan, kurangnya aktivitas eksplorasi dan investasi. Beberapa decade lalu Indonesia pernah mencapai puncak produksi harian hingga 1.5 juta bopd serta penyumbang 62.88 % penerimaan negara pada periode tahun 1979-2984. Namun kini capaian produksi nasional hanya mampu menghasilkan 800 ribu bopd, dari sisi penerimaan negara sektor ini pun menyumbang hanya sebesar 4.7 % dari total pendapatan negara. Perusahaan dalam industry migas sangat sensitif terhadap volatilitas harga minyak dunia, hal ini terbukti pada saat harga minyak dunia jatuh hingga kisaran 20an dollar per barel, banyak perusahaan yang terpaksa untuk mengurangi kegiatan eksplorasi bahkan pengeboran. Karena hal ini membuat kondisi keuangan perusahaan minyak dan gas mengalamai penurunan yang cukup dalam, dikarenakan harga jual yang rendah namun biaya operasional yang tinggi, akibat dari hal ini membuat banyak perusahaan terpaksa melakukan efisiensi demi keberlangsungan perusahaan. Dari kondisi ini, keputusan untuk mencari proporsi yang tepat antara utang dan modal perusahaan untuk menjalankan operasional serta memaksimalkan nilai perusahaan sangatlah diperlukan. Kondisi makro serta analisis industry akan menggunakan analisis PESTEL dan Porter Five Forces, setelah melakukan analisis eksternal lalu dilanjutkan dengan analisis keuangan untuk mengetahui kondisi keuangan perusahaan pada saat ini dan beberapa tahun sebelumnya yang akan digunakan utuk proyeksi masa depan perusahaan tersebut. Secara historis analisis keuangan perusahaan terlihat dalam situasi yang buruk. Situasi ini dapat dilihat dari Debt to Equity Ratio yang tinggi serta Return on Equity yang kecil bila dibandingkan dengan perusahaan yang berada di industri yang sama. Hal ini dapat dilakukan dengan meminimalkan biaya modal yang dampaknya akan meningkatkan nilai perusahaan. Berdasarkan hasil perhitungan Weighted Average Cost of Capital, PT Energi Mega Persada mendapatkan WACC minimum sebesar 7,74 % dengan Debt to Equity Ratio 0,37 dan dengan nilai perusahaan $ 950 juta lalu direkomendasikan untuk melakukan Debt to Equity Swap dan Rescheduling Debt untuk merestrukturisasi hutang perusahaan dalam kaitannya untuk mendapatkan capital structure yang optimal.