Kearifan lokal dalam penataan ruang yang tetap terwujud dan tetap lestari di Indonesia dapat dilihat di Provinsi Bali karena adanya pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dalam bentuk desa adat atau desa pekraman dan falsafah Tri Hita Karana. Desa adat di Provinsi Bali memiliki hak otonom yang dilegalkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001 yang meliputi hak untuk membuat awig-awig (peraturan desa adat), mengatur masyarakat desa adat, serta mengelola kekayaan desa dan lainnya. Eksistensi desa adat di Provinsi Bali menyebabkan adanya dualisme kelembagaan penataan ruang di wilayah desa adat. Desa Adat Penglipuran, Desa Adat Pengotan, dan Desa Adat Bayung Gede adalah desa adat tradisional di Provinsi Bali yang masih menggunakan konsep tata ruang tradisional. Kondisi ini menjadi daya tarik wisata dan membuat ketiga desa tersebut ditetapkan sebagai desa wisata dan Kawasan Strategis Desa Budaya Khusus. Hingga saat ini belum ada aturan tata ruang yang operasional dari segi formal untuk mengendalikan wilayah ketiga desa adat tersebut.
.Studi ini dilakukan untuk mengidentifikasi keselarasan pengendalian pemanfaatan ruang tradisional dan pengendalian pemanfaatan ruang formal di ketiga wilayah desa adat. Identifikasi keselarasan tersebut dapat menjadi masukan untuk pemerintah daerah dalam melakukan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah desa adat yang memiliki aturan tata ruang tradisional. Untuk mencapai tujuan tersebut studi ini mengidentifikasi perangkat pengendalian pemanfaatan ruang tradisional dan formal melalui metode analisis deksriptif kualitatif, analisis komparasi, analisis isi, dan analisis stakeholder. Dari setiap hasil rumusan penyelarasan perangkat pengendalian, yaitu peraturan zonasi, perizinan, insentif-disinsentif, dan sanksi, dilakukan perumusan lebih lanjut mengenai, substansi, proses, dan keterlibatan setiap aktor dalam pengendalian formal dan tradisional.
Hasil analisis menunjukkan terdapat perangkat pengendalian pemanfaatan ruang tradisional yang dapat selaras dalam peraturan zonasi, perizinan, insentif-disinsentif, dan sanksi dalam pengendalian pemanfaatan ruang formal. Selain itu, teridentifikasi pula aktor-aktor yang harus terlibat dalam pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang formal dan tradisional. Keselarasan didapatkan pula dalam penyusunan dan penetapan ketentuan perangkat pengendalian serta penerapannya. Keselarasan dalam pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang tradisional dan formal menunjukkan bahwa dapat dilakukan kolaborasi antara ketiga desa adat dan Pemerintah Kabupaten Bangli.
Perpustakaan Digital ITB