Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dibentuk sebagai langkah untuk memberikan kejelasan mengenai kedudukan desa dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Melalui undang-undang tersebut saat ini desa tidak lagi diposisikan sebagai subordinat pemerintahan kabupaten/kota tetapi sebagai organisasi pemerintahan pada level paling rendah yang memiliki hak untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya secara mandiri. Kedudukan desa tersebut diperkuat oleh salah satu prinsip utama dalam UU Desa yaitu “prinsip subsidiaritas” atau kewenangan lokal berskala desa yang mana desa diberikan hak untuk menetapkan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa. Akan tetapi kewenangan lokal tersebut merupakan hal yang baru semenjak lahirnya UU Desa mengingat selama ini desa hanya menjadi objek pembangunan yang berasal dari pemerintah supradesa.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan teknik analisis isi (content analysis) dan pengumpulan data dilakukan melalui survei primer dan sekunder. Survei primer dilakukan dengan wawancara semi terstruktur kepada narasumber terkait baik di pemerintah kabupaten maupun di pemerintah desa dan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD), selain itu juga dilakukan observasi lapangan untuk mengetahui hasil dari pembangunan yang telah dilaksanakan. Survei sekunder dilakukan dengan mengumpulkan dokumen-dokumen terkait yang dibutuhkan untuk analisis dalam penelitian ini. Hasil dari wawancara kepada berbagai narasumber kemudian diolah lebih lanjut untuk menganalisis implementasi kewenangan lokal berskala desa di bidang pelaksanaan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.
Berdasarkan hasil analisis, dari ketiga desa yang menjadi lokasi penelitian belum ada satupun yang menetapkan peraturan desa tentang daftar kewenangan desa sebagai landasan untuk melaksanakan kewenangannya khususnya kewenangan lokal berskala desa. Meskipun dari ketiga desa belum memiliki peraturan desa tentang kewenangan desa namun pemerintah desa tersebut tetap berkewajiban untuk melaksanakan pembangunan yang berskala lokal sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat desa. Baik Desa Ciburial (desa maju), Desa Sindanglaya (desa berkembang), dan Desa Cikadut (desa tertinggal) telah mampu melaksanakan kewenangan lokal berskala desa di bidang pelaksanaan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana yang diamanahkan oleh Undang-Undang Desa. Sebagai wujud subsidiaritas vertikal, pemerintah supradesa juga memberikan dukungan kepada desa dalam bentuk bantuan keuangan dan bimbingan teknis. Adapun tipologi desa berdasarkan Indeks Desa Membangun (IDM) tidak sepenuhnya menunjukkan perbedaan bagaimana ketiga desa studi melaksanakan kewenangan lokal berskala desa karena IDM hanya menggolongkan desa berdasarkan komponen sosial, ekonomi, dan lingkungan serta tidak memasukkan kualitas aparatur pemerintah desa yang mana aparatur pemerintah desa merupakan pelaksana utama kewenangan lokal berskala desa.
Perpustakaan Digital ITB