digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Waduk Jatigede merupakan infrastruktur yang dibangun di bagian paling tenggara Kabupaten Sumedang, dan dikelilingi oleh 5 Kecamatan yaitu Kecamatan Cisitu, Darmaraja, Jatinunggal, Wado, dan Jatigede. Waduk resmi beroprasi sejak Tahun 2014 dan telah mendorong terjadinya transformasi pada desa-desa di sekitarnya. Dengan melakukan penelitian campuran (mixed method), penulis mencoba mendeskripsikan strategi penghidupan masyarakat di tepian waduk dalam menghadapi transformasi desa. Adapun penelitian ini dilakukan untuk mencapai 3 sasaran yaitu : 1) Menjelaskan konteks transformasi desa yang terjadi di tepian waduk jatigede ; 2) Menjelaskan strategi penghidupan masyarakat di tepian waduk Jatigede, dan ; 3) Menjelaskan hasil dari strategi penghidupan masyarakat di tepian Waduk Jatigede. Transformasi desa berdampak pada perubahan penggunaan lahan, jumlah penduduk, perekonomian, dan pelayanan infrastruktur. Berubahnya 3.509,14 hektar lahan produktif sebagai kawasan perairan mendorong munculnya kawasan permukiman dan pertanian di kawasan sekitar waduk, dimana kawasan tersebut diperuntukan sebagai kawasan perlindungan setempat. Penggenangan mengakibatkan tekanan pada kawasan permukiman dan pertanian sehingga mendorong perpindahan penduduk dan melemahnya perekonomian desa. Masyarakat desa yang secara secara generatif berprofesi sebagai petani mengalami kehilangan lahan garapan dan membuka ladang pertanian baru di tepian waduk dengan produktifitas yang tidak menentu. Produktifitas pertanian di wilayah terdampak mengalami penurunan, dimana hasil pertanian di Kecamatan Cisitu menyusut sebanyak 23,38%, Kecamatan Darmaraja 61,66%, dan Wado sebanyak 17,27%. Adapun Kecamatan Jatigede mengalami penyusutan produksi sayuran sebesar 73,43% dan Kecamatan Jatinunggal mengalami penyusutan hasil panen buah-buahan sebanyak 67,25%. Adapun tergenangnya sejumlah infrastruktur menyebabkan melemahnya kapasitas pelayanan sarana dan prasarana desa sehingga bergantung pada pusat kegiatan Kecamatan.ii Pembangunan Waduk Jatigede merupakan benchmark bagi transformasi desa di sekitarnya dan menyebabkan lemahnya aset penghidupan masyarakat. Aset-aset yang melemah diantaranya aset alam, finansial, fisik, dan manusia. Adapun aset yang ada dalam kondisi baik adalah aset sosial, sehingga meskipun dalam guncangan (shock), masyarakat masih memiliki kemampuan untuk bekerja sama secara kelompok. Namun, lemahnya aset mengakibatkan masyarakat memiliki lebih sedikit pilihan untuk bertahan hidup. Meskipun aset alam ada dalam kondisi melemah, sebagian besar aktifitas masyarakat masih bergantung pada ketersediaan lahan. Masyarakat melakukan diversifikasi penghidupan dengan cara mengumpulkan hasil alam, bertani, beternak, terlibat dalam sektor perekonomian baru yang terdiri dari kegiatan pariwisata dan perikanan, memanfaatkan remmitance, bantuan sosial, dan memanfaatkan jaringan sosial. Upaya masyarakat untuk meragamkan mata pencaharian memberikan hasil penghidupan yang lemah dengan adanya indikasi kerentanan pangan. Sebagian besar masyarakat di tepian waduk merupakan petani dan penduduk di permukiman yang kehilangan lahan dan tidak memiliki keahlian lain selain pengetahuan terkait pertanian dan mengumpulkan hasil alam. Dimana pada mulanya lahan menyediakan cadangan makanan, hasil bumi yang dapat dijual, hasil alam yang dapat dikumpulkan, dan memberikan pekerjaan untuk masyarakat desa. Hilangnya lahan berdampak pada melumpuhnya perekonomian desa, dan kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Hasil pengukuran kesejahteraan menunjukan bahwa 78% responden mengalami penurunan pendapatan, 84,76% mengalami penurunan hari kerja, 39,05% kesulitan memenuhi kebutuhan pangan, dan 85,71% memiliki hunian yang tidak aman bencana. Dengan demikian strategi penghidupan masyarakat desa di Tepian Waduk Jatigede menghasilkan kesejahteraan dan resiliensi yang rendah.