digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Air asam tambang (AAT) akibat aktivitas penambangan batubara terbuka merupakan isu lingkungan karena berpotensi menurunkan kualitas air permukaan. Prediksi karakteristik AAT yang akurat sangat diperlukan sebagai dasar mitigasi dan pengelolaan dampak lingkungan secara efektif. Metode prediksi konvensional saat ini dengan mengkombinasikan uji statik, uji kinetik dan pemodelan geokimia memiliki keterbatasan dari sisi waktu, biaya, dan akurasi. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi kinerja pemodelan prediksi kualitas AAT berbasis algoritma Random Forest Regression (RFR) dengan membandingkan hasilnya terhadap pemodelan geokimia deterministik menggunakan PHREEQC untuk mengkaji potensi pengunaan model prediksi dengan pendekatan data-driven dibandingkan model geokimia. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif berdasarkan data sekunder hasil uji laboratorium, meliputi uji mineralogi (XRD), Uji Kinetik Free Draining Column Leach Test (FDCLT), dan data kualitas air leachate pada sampel batuan dari salah satu tambang batubara di Indonesia. Pemodelan machine learning dibangun menggunakan algoritma RFR berbasis Python untuk memprediksi parameter fisik dan kimia leachate. Sebagai pembanding, pemodelan geokimia menggunakan perangkat lunak PHREEQC dengan mempertimbangkan kinetika reaksi juga dilakukan. Evaluasi kinerja kedua pendekatan dilakukan melalui validasi dengan data aktual menggunakan metrik R², RMSE, dan MAE. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model geokimia PHREEQC maupun algoritma RFR mampu memprediksi karakteristik AAT dengan akurasi yang baik untuk beberapa parameter tertentu. Model PHREEQC menunjukkan kinerja prediksi pH yang tinggi (R² > 0.91; MAE < 0.13), serta mampu merepresentasikan kesetimbangan asam–basa dan kapasitas buffering mineral sekunder, termasuk tren laju oksidasi pirit. Sementara itu, model RFR berbasis data-driven berhasil memprediksi parameter TDS dan SO? pada kondisi moderat (R² > 0.80) dengan baik melalui korelasi kuat terhadap parameter fisik seperti EC, pH, dan ORP. Namun demikian, kedua model memiliki keterbatasan dalam memprediksi konsentrasi Fe serta pada domain data ekstrem, yang disebabkan oleh belum terakomodasinya aspek kinetika reaksi redoks, presipitasi mineral sekunder, serta efek batch dalam sistem pelindian. Temuan ini membuka peluang untuk mengembangkan model prediktif yang lebih andal dengan mengintegrasikan parameter geokimia dan aspek kinetik dalam input machine learning, agar model menjadi lebih komprehensif dan representatif terhadap sistem AAT yang kompleks dan dinamis.