digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Beras merupakan makanan pokok yang telah dikenal masyarakat Indonesia selama ribuan tahun dan kini menjadi komponen pengeluaran terbesar bagi masyarakat, sehingga kelompok berpenghasilan rendah sangat rentan terhadap fluktuasi harganya. Di Provinsi Jawa Barat, masalah ini menjadi krusial karena Margin Perdagangan dan Transportasi (MPP) total sebesar 20,28%, lebih tinggi dari rata-rata nasional dan tingginya alokasi belanja beras masyarakat miskin (hingga 25,93%) terhadap beras, sementara di sisi lain kesejahteraan petani tidak meningkat signifikan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis transmisi harga beras di rantai pasok Jawa Barat guna mengidentifikasi keberadaan, besaran, dan kecepatan transmisi harga asimetris (APT), serta menentukan aktor yang memperoleh keuntungan bersih terbesar dari fluktuasi harga. Dengan menggunakan data harga bulanan dari BPS periode 2018-2023, penelitian ini menerapkan model Non-Linear Autoregressive Distributed Lag (NARDL) untuk menganalisis hubungan non-linear di sepanjang rantai pasok. Hasil penelitian menunjukkan adanya bukti kuat APT, di mana keuntungan (welfare gain) terbesar secara konsisten diperoleh oleh penggiling dengan selisih respons kenaikan dan penurunan harga sebesar 0,135%. Selain itu, antara retail di daerah perkotaan pun mengalami terdapat APT, namun dengan magnitudo yang sedikit lebih kecil. Perbedaan magnitudo ini penting untuk diperhatikan karena berdampak pada permanen transfer kesejahteraan yang mendorong inflasi harga pangan. Kesimpulannya, temuan ini mengonfirmasi terjadinya inefisiensi pasar yang menguntungkan penggilingan dan pengecer perkotaan, sehingga implikasinya pemerintah perlu memperluas fokus intervensi dari sekadar harga di tingkat petani ke pengawasan transparansi dan struktur persaingan di tingkat ritel dan distribusi penggilingan untuk menciptakan pasar yang lebih adil.