digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Ketergantungan Indonesia terhadap PLTU batubara menjadi tantangan utama dalam mencapai target NZE karena emisi CO? yang tinggi dari sektor pembangkitan. Teknologi CCS merupakan solusi potensial, namun penerapannya pada PLTU eksisting menghadapi hambatan efisiensi energi dan kelayakan ekonomi. Salah satu pendekatan yang menjanjikan adalah oxy-fuel combustion, yang memungkinkan konsentrasi CO? tinggi pada gas buang sehingga mempermudah proses penangkapan. Penelitian ini mengevaluasi penerapan teknologi oxy-fuel pada PLTU Suralaya Unit 8 melalui pemodelan proses menggunakan Aspen Plus. Simulasi mencakup validasi kondisi air-fired, penerapan oxy-fuel dengan konfigurasi dry dan wet FGR, serta suplai oksigen dari ASU. Fokus utama penelitian adalah analisis dampak rasio FGR terhadap temperatur pembakaran, efisiensi siklus termal, performa penangkapan karbon, serta aspek ekonomi retrofit. Hasil menunjukkan bahwa konfigurasi optimal FGR untuk menyamai FEGT air-fired adalah 77,80%wt (dry) dan 67,29%wt (wet). Wet FGR memberikan keuntungan termodinamika karena temperatur gas buang yang masih dapat dimanfaatkan, sementara dry FGR memberikan CO? recovery dan purity yang lebih baik. Energy penalty oxy-fuel mencapai 34,99% dengan penurunan efisiensi hingga 11,07%. Biaya retrofit berada pada kisaran 447,63–560,42 juta USD, dengan peningkatan O&M cost hingga 96,04% dan LCOE naik 114–126%. Harga karbon minimum agar teknologi ini kompetitif adalah 58–64 USD/ton, yang masih belum tercapai di pasar karbon nasional. Studi ini memberikan rekomendasi teknis-ekonomis untuk strategi dekarbonisasi PLTU menuju NZE.