Magnetotelurik (MT) merupakan salah satu metode geofisika yang memanfaatkan
sumber medan elektromagnetik alami (pasif) yang dapat memberikan informasi
mengenai distribusi konduktivitas listrik bawah permukaan bumi. Hal ini dilakukan
dengan cara mengukur medan listrik dan medan magnet alami yang bervariasi
terhadap waktu di permukaan. MT telah diakui secara luas sebagai salah satu
metode geofisika yang paling efektif untuk eksplorasi panas bumi, karena
kemampuannya dalam memetakan distribusi konduktivitas listrik bawah
permukaan secara langsung. Meski demikian, interpretasi MT menghadapi
tantangan yang signifikan di mana proses inversi data MT bersifat non-linear, illposed, dan menuntut biaya komputasi yang tinggi, terutama untuk pemodelan tiga
dimensi (3D). Studi ini secara fundamental berfokus pada pengembangan dan
implementasi sebuah program inversi MT 2D yang efisien dan andal. Pendekatan
2D dipilih sebagai fokus utama karena efisiensinya yang jauh lebih tinggi
dibandingkan pendekatan 3D. Kontribusi utama dari studi ini terletak pada integrasi
beberapa inovasi metodologi yang spesifik. Inversi dilakukan dengan skema inversi
non-linear Occam yang diimplementasikan menggunakan pendekatan elemen
hingga (FEM) berbasis mesh segitiga yang adaptif. Untuk mengatasi akurasi pada
area dengan topografi kompleks seperti lapangan panas bumi, dikembangkan
sebuah alur kerja pra-pemrosesan data lapangan yang sistematis. Untuk
meningkatkan resolusi pada zona target tanpa mengorbankan efisiensi, penelitian
ini menerapkan desain mesh elemen hingga yang adaptif, di mana grid vertikal
dibuat jauh lebih rapat di dekat permukaan dan lebih renggang di kedalaman. Untuk
mencapai efisiensi komputasi, diimplementasikan skema quasi-Newton. Skema ini
menghitung matriks Jacobian di awal, kemudian untuk ribuan iterasi berikutnya,
matriks tersebut diperbarui secara cepat menggunakan metode Broyden, sebuah
pendekatan yang secara signifikan menghemat waktu dan mengurangi memori
komputasi sehingga memungkinkan dilakukannya iterasi dalam jumlah besar. Data
yang digunakan pada proses inversi adalah data sintetik dan data lapangan. Kinerja
program divalidasi melalui serangkaian uji pada data sintetik. Berbagai model
geologi berupa model bumi homogen, model bumi berlapis (konduktif-resistif dan
resistif-konduktif), dan model kontak vertikal (konduktif-resistif dan resistif-konduktif) diuji dengan dan tanpa topografi. Validasi program pada beragam model
sintetik menunjukkan kemampuan merekonstruksi struktur asli dengan RMSE <
1.5. Proses inversi pada data sintetik ini menggunakan iterasi sebanyak 300 kali
untuk inversi modus TE maupun modus TM dan iterasi sebanyak 500 kali untuk
joint inversion TE-TM, toleransi 0.01 dan pengali Lagrange 1000. Berdasarkan
hasil, modus TE lebih responsif terhadap struktur resistif dan perubahan resistivitas
secara lateral. Sedangkan modus TM lebih responsif terhadap keberadaan lapisan
konduktif secara vertikal. Hasil analisis mengonfirmasi bahwa joint inversion TETM dalam mengurangi ambiguitas dibandingkan model modus tunggal. Sebagai
validasi akhir, program diaplikasikan pada data lapangan dari sepuluh titik MT di
area panas bumi Patuha. Dengan menjalankan inversi hingga 1000 iterasi, model
joint inversion TE-TM berhasil memperoleh misfit RMSE yang cukup kecil (0.203
untuk resistivitas dan 0.174 untuk fasa). Interpretasi geologis dari model akhir
secara jelas menunjukkan zona konduktif dangkal (< 10 ?m) pada kedalaman 500
– 1500 m yang diinterpretasikan sebagai lapisan cap rock yang umum pada sistem
panas bumi. Di bawahnya, teridentifikasi zona dengan resistivitas menengah yang
berpotensi sebagai zona reservoir. Hasil ini konsisten dengan inversi 1D
sebelumnya. Hasil–hasil ini membuktikan bahwa program yang dikembangkan
merupakan perangkat yang valid, efisien, dan tangguh untuk karakterisasi bawah
permukaan yang kompleks. Secara keseluruhan, penelitian ini berhasil
mengembangkan sebuah program inversi MT 2D dari dasar yang terbukti valid,
efisien dari segi komputasi, dan andal untuk karakterisasi struktur konduktivitas
bawah permukaan pada kasus-kasus di mana asumsi 2D dapat dibenarkan, seperti
pada survei satu atau dua lintasan dan pada area dengan arah jurus geologi yang
dominan.
Perpustakaan Digital ITB