










Perdebatan tata kelola perubahan iklim yang pada awalnya hanya terkait
ketidakseimbangan antara aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, saat ini semakin
berkembang pada isu trade off yang terjadi antara aksi adaptasi, mitigasi dan
pembangunan yang cenderung dilakukan secara terpisah. Perdebatan tersebut
memunculkan gagasan triple wins yang merupakan konsep dimana aksi tunggal dapat
memberikan manfaat adaptasi, mitigasi dan pembangunan. Peluang untuk secara
bersamaan mengatasi adaptasi, mitigasi dan pembangunan mulai teridentifikasi dan
memunculkan istilah Climate Compatible Development (CCD). Bersamaan dengan
tujuan CCD tersebut, upaya kebijakan beralih ke pendekatan yang lebih terintegrasi,
yang mampu meningkatkan koordinasi lintas sektoral dan lintas level dalam tata kelola
multilevel diperlukan untuk mendukung proyek-proyek yang menawarkan 'triplewins'. Dalam penelitian tata kelola multilevel belum ada kerangka yang bisa digunakan
untuk menganalisis pemangku kepentingan dan kebijakan pada lintas tingkat dan lintas
sektor menggunakan pendekatan CCD. Meskipun asumsi terhadap aspek institusi dan
kebijakan dalam implementasi CCD sudah banyak, tetapi belum ada penelitian yang
menjelaskan seperti apa struktur dan bagaimana jaringan kelembagaan yang mengatur
CCD?, bagaimana kelembagaan tersebut didirikan dan beroperasi?. Memahami bahwa
CCD memerlukan kerangka tata kelola multilevel, namun belum pernah dilaporkan
kerangka tata kelola perubahan iklim dengan menggunakan pendekatan CCD.
Penelitian ini menjelaskan seperti apa bentuk-bentuk baru dari proses institusional
yang muncul yang mencerminkan transformasi ke pemikiran “triple wins”. Penelitian
ini bertujuan membangun kerangka tata kelola multilevel perubahan iklim dengan
pendekatan Climate Compatible Development.
Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus dengan tujuan membangun
kerangka tata kelola multilevel perubahan iklim dengan pendekatan Climate
Compatible Development (CCD) pada studi kasus pengelolaan kawasan ekosistem
mangrove di pesisir Kota Semarang. Pesisir Kota Semarang menjadi sangat relevan
menjadi wilayah studi kasus karena memerlukan aksi pembangunan ekonomi, adaptasiii
dan mitigasi perubahan iklim dengan prioritas yang sama sesuai dengan konsep CCD.
Data diperoleh melalui observasi dan wawancara mendalam terhadap informan dan
dianalisis dengan analisis pemangku kepentingan dengan pendekatan konsep CCD dan
teori tatakelola multilevel.
Hasil penelitian menunjukan bahwa dengan menggunakan diagram CCD untuk
menganalisis potensi CCD pada ekosistem mangrove ditemukan praktik pengelolaan
ekosistem mangrove di Kota Semarang yang sudah menghasilkan manfaat CCD pada
saat ini. Dengan menggunakan pendekatan CCD juga ditemukan bahwa pemangku
kepentingan dan kebijakan sudah ada yang menunjukkan tata kelola multilevel yang
sudah memiliki tujuan untuk pembangunan ekonomi serta adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim. Pemangku kepentingan yang terlibat dalam penanaman, rehabilitasi
dan konservasi ekosistem mangrove untuk tujuan tiga manfaat (CCD) sekaligus adalah
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa
Tengah, Dinas Perikanan Kota Semarang, dan Universitas Diponegoro. Kebijakan
yang ditetapkan terkait tata kelola ekosistem mangrove untuk tujuan tiga manfaat
(CCD) adalah Strategi Nasional Pengelolaan Lahan Basah 2022, LTS-LCCR 2022 dan
Peraturan Gubernur Jawa Tengah No. 43 tahun 2012. Pada studi kasus juga ditemukan
trade off terhadap tujuan CCD dimana ada beberapa proyek yang sudah dilakukan
menyebabkan konversi lahan ekosistem mangrove. Kewenangan dan hirarki
perundangan merupakan tantangan institusional dalam tata kelola untuk memperoleh
manfaat CCD yang ditemukan dalam penelitian ini.