Indonesia sebagai negara dengan cadangan timah terbesar kedua di dunia memiliki
peran penting dalam industri timah global dengan kontribusi 17% terhadap
produksi timah dunia. Meski demikian, rantai industri timah dalam negeri
menghadapi berbagai tantangan, termasuk ketergantungan pada impor produk
bernilai tambah tinggi seperti tin solder dan tin plate, sementara ekspor didominasi
oleh logam timah. Sesuai amanat UU No. 3 Tahun 2020 dan PP No. 96 Tahun 2021,
pemerintah mewajibkan pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri untuk
memaksimalkan nilai tambah, menyediakan bahan baku bagi industri lokal, dan
meningkatkan penerimaan negara. Namun, implementasi kebijakan ini masih
belum optimal. Untuk mendukung tujuan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis dampak kebijakan timah terhadap peningkatan nilai tambah,
pendapatan sosial, serta kontribusinya pada penerimaan pemerintah. Penelitian ini
akan membandingkan 3 (tiga) skenario, yaitu terdapat ekspor timah dengan kondisi
eksisting (Skenario 1), adanya kebijakan pembatasan ekspor timah diiringi dengan
peningkatan kapasitas pabrik domestik (Skenario 2), dan diterapkan kebijakan
pembatasan ekspor timah tanpa adanya peningkatan kapasitas pabrik domestik
(Skenario 3).
Metode Social Accounting Matrix (SAM) digunakan untuk memodelkan hubungan
antar sektor ekonomi, rumah tangga, dan pemerintah, serta menggambarkan aliran
pendapatan dan pengeluaran dalam perekonomian. Hasil analisis menunjukkan
bahwa Skenario 2 merupakan skenario optimal, karena mendorong pengembangan
industri hilir timah dalam negeri untuk memenuhi pasar domestik yang
berkembang, sambil tetap mempertahankan pendapatan ekspor meskipun dalam
jumlah lebih kecil. Skenario ini menciptakan keseimbangan antara pengembangan
industri hilir dan pendapatan ekspor, memberikan dampak positif terhadap
perekonomian Indonesia.