Nikel merupakan salah satu bahan baku terpenting dalam industri. Ini memainkan peran
penting dalam produksi baja tahan karat, yang digunakan dalam berbagai reaktor proses
kimia. Namun, metode ekstraksi menghasilkan emisi karbon dalam jumlah yang
signifikan ke lingkungan. Dengan target Indonesia menuju target “Zero Net Emission”
pada tahun 2060, metode yang jauh lebih bersih perlu ditemukan.
Reduksi dilakukan untuk mengekstraksi nikel dari bijih nikel sprolitik. Proses reduksi
secara tradisional menggunakan batubara sebagai reduktor. Biomassa ter-torefaksi
merupakan potensi pengganti yang menjanjikan. Dengan tidak adanya batubara,
biomassa ter-torefaksi dapat melakukan reduksi dengan sukses — dengan tidak adanya
sulfur dan kontaminan lainnya, Ni dan Fe akan dapat diekstraksi dalam konsentrasi yang
lebih tinggi. Torefaksi dilakukan dalam kondisi inert dengan menggunakan Nitrogen dan
berlangsung pada suhu 300°C selama 60 menit. Biomassa yang telah ditorrefaksi
kemudian dicampur dengan 8 gram bijih saprolit dengan menggunakan stoikiometri 1:1
dan 1:1,5 untuk mendapatkan massa total biomassa yang telah ditorrefaksi. Campuran ini
kemudian direduksi pada suhu 900°C selama 3 jam dalam horizontal muffle furnace dan
kemudian dilanjutkan dengan peleburan pada suhu 1550°C selama 2 jam dalam vertical
furnace. Hasil sampel yang diperoleh dianalisis menggunakan SEM-EDS.
Proses torefaksi menghasilkan peningkatan persentase fixed carbon dalam biomassa yang
ditorrefaksi dalam kisaran 5%-15%. Hal ini memberikan persentase fixed carbon akhir
dalam biomassa sebesar 20%-29%. Menghasilkan terpilihnya sebuk gergaji mahoni dan
kaliandra, dan cangkang sawit dan kemiri. Reduksi memberikan persentase massa akhir
Ni dan Fe sebesar 6%-12% dan 82%-86% dengan menggunakan rasio stoikiometri 1:1,
5%-7% dan 65%-78% menggunakan rasio 1:1,5. Perolehan Ni tertinggi adalah 11.66%
dengan menggunakan cangkang kemiri sebagai reduktor dengan stoikiometri 1:1.