Pemanasan global adalah permasalahan yang mendesak. NASA telah
memperkirakan wabhwa 15 bulau di Asia Tenggara akan tenggelam pada tahun
2100, sebagai akibat dari peningkatan permukaan laut global setinggi 0,77cm pada
tahun 2022-2023. Suhu global meningkat 1,48’C lebih tinggi dari tingkat praindustri pada tahun 2023. Indonesia harus meningkatkan penggunaan sumber
energi terbarukan dan efisiensi energi. Pada tahun 2030, konsumsi energi akan
meningkat sebesar 3% dan permintaan listrik sebesar 8.5%, dengan bahan bakar
fosil memenuhi dua pertiga permintaan dan emisi CO2 meningkat 35%. Studi ini
mengevaluasi kelayakan tekno-ekonomi pembangkit listrik tenaga panas bumi
Indonesia Organic Rankine Cycle (ORC) 53,5 MW menggunakan kredit karbon.
Potensi panas bumi di Indonesia adalah sebesar 40% dari sumber daya global, tetapi
biaya dimuka yang tinggi, dukungan regulasi yang tidak memadai dan adanya
hambatan teknis yang membatasi pengembangan panas bumi. Pembangkit listrik
Panas Bumi ORC yang fleksibel dan efisien memberikan daya beban dasar yang
stabil untuk sumber daya bersuhu rendah hingga sedang, studi ini menerapkan
perangka lunak RET Screen untuk Analisa tekno-ekonomi, sensitivitas dan
penilaian risiko untuk menganalisis kelayakan proyek dalam berbagai scenario.
Biaya awal, pengeluaran operasi dan pemeliharaan, pembangkit energi dan
pengurangan GRK dianalisa secara rinci. Net Present Value (NPV), Internal Return
of Rate (IRR) dan Levelized Cost of Energy (LCOE) dihitung untuk emoat scenario:
i. insentif minimal, ii. Peningkatan insentif kredit karbon; iii. Memperpanjang umur
proyek dengan manfaat pajak; iv. Scenario yang dioptimalkan dengan harga kredit
karbon yang tinggi. Ndengan IRR ekuitas sebelum pajak sebesar 20,7% dan NPV
sebesar $97,52 juta, proyek ini layak secara komersial dengan harga $2/ton CO2 di
Indonesia. menaikkan harga kredit karbon menjadi $18/ton CO2 meningkatkan IRR
menjadi 26,1% dan NPV menjadi $142,74 juta. Periode pengembalian ekuitas 2,9
tahun dan penurinan LCOE dicapai dengan memperpanjang umur proyek menjadi
30 tahun dan mengunakan harga kredit karbon sebesar $46/ton CO2. Data ini
menunjukkan bagaimana harga karbon mempengaruhi profitabilitas investasi panas
bumi. Mengoptimalkan eksplorasi panas bumi dan mengadopsi teknologi inovatif
dapat memangkas pengeluaran dan mempercepat progress. Terinspirasi dari
Filipina dan Kenya, insentif pemerintah, pemotongan pajak, dan persetujuan yang
lebih cepat dapat membuat proyek panas bumi layak secara finansial dan membantu
Indonesia mencapai tujuan nol emisi karbon pada tahun 2060.