digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Tumbuhan dari keluarga Araceae memiliki keanekaragaman yang tinggi serta memiliki peta penyebaran di seluruh dunia. Marga Pothos merupakan salah satu tumbuhan suku Araceae yang banyak dimanfaatkan dalam pengobatan tradisional di Asia. Marga Pothos memiliki beberapa spesies populer, diantaranya adalah P. scandens dan P. chinensis yang merupakan bagian dari pengobatan tradisional di Cina dan salah satu ayurveda penting di India. Sementara itu, spesies P. tener yang merupakan tumbuhan endemik Sulawesi, belum dieksplorasi secara optimal sehingga belum diketahui manfaat tanaman ini terhadap manusia dan hewan. Telah dilaporkan bahwa tumbuhan P. tener menunjukkan potensi sebagai antibakteri alami terhadap ikan air tawar. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan potensi pemanfaatan P. tener dalam bidang farmasi veteriner, terutama untuk mengatasi permasalahan resistensi antimikroba dalam ikan budidaya serta upaya konservasi secara in vitro (mikropropagasi) untuk mencegah kepunahan apabila akan dimanfaatkan dalam bidang farmasi, mengingat P. tener merupakan tanaman endemik pada habitat terbatas. Pemanfaatan sumber daya alam Indonesia secara berkelanjutan untuk dikembangkan sebagai obat, dimana penemuan kandidat senyawa antibakteri alam dari P. tener merupakan hal yang krusial untuk meningkatkan kualitas ikan budidaya. Hal ini akan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi-sosial dan peningkatan kesehatan masyarakat Indonesia. Tahap awal penelitian adalah melakukan determinasi tumbuhan segar P. tener untuk memastikan kebenaran bahan yang digunakan. Selanjutnya, dilakukan standardisasi bahan baku meliputi seluruh aspek parameter spesifik dan non-spesifik simplisia dan ekstrak. Hasil studi morfologi menunjukkan bahwa tipe daun P. tener memiliki pertulangan menyirip, bangun daun bulat telur, elips atau lanset dan ujung lancip. Hasil pengamatan mikroskopik menunjukkan tipe stomata ambibraxiparacytic, sebaran kristal roset dan sel sekresitori osmofor yang merupakan ciri khas dari keluarga Araceae. Sampel tanaman diekstraksi bertingkat dengan cara dingin (maserasi) menggunakan pelarut etil asetat dan metanol. Profil metabolit dari ekstrak n-heksan, etil asetat dan metanol P. tener ditentukan menggunakan GC-MS. Hasil analisis GC-MS menunjukkan 213 total senyawa dari ketiga ekstrak P. tener terdiri dari 73 senyawa pada ekstrak n-heksan, 114 senyawa pada ekstrak etil asetat dan 26 senyawa pada ekstrak metanol. Total kandungan senyawa yang teridentifikasi pada ketiga ekstrak P. tener meliputi ester asam ftalat (81,63%). Total kandungan senyawa pada ekstrak metanol dan etil asetat meliputi asam lemak (19,56%). Total kandungan senyawa pada ekstrak metanol dan n-heksan meliputi metil ester asam lemak (27,93%). Total kandungan senyawa pada ekstrak n-heksan dan etil asetat meliputi alkana (18,03%). Senyawa lain yang terdeteksi pada ekstrak metanol adalah alkohol (6,69%). Senyawa lain yang terdeteksi pada etil asetat adalah fenol (3,06%) dan aldehid (1,82%). Sementara stigmasterol (2,31%) terdeteksi pada ekstrak n-heksan. Hasil penapisan fitokimia dari ketiga ekstrak P. tener menunjukkan keberadaan golongan alkaloid, tannin, polifenol, flavonoid, kuinon, mono/seskuiterpen, steroid dan triterpenoid. Tahap kedua penelitian adalah melakukan isolasi senyawa aktif dari P. tener berdasarkan hasil uji aktivitas antimikroba. Langkah awal penelitian dimulai dengan melakukan pemetaan aktivitas antimikroba ketiga ekstrak P. tener terhadap mikroba uji meliputi Staphylococcus aureus ATCC 6538, Aeromonas hydrophila ATCC 7966, Eschericia coli ATCC 8939, Aspergillus niger ATCC 16404 dan Candida albicans ATCC 10231. Protokol uji yang digunakan untuk menentukan nilai KHM adalah metode uji mikrodilusi yang dilanjutkan dengan metode uji gores untuk menentukan nilai KBM terhadap seluruh mikroba uji. Sebagai tambahan, dilakukan uji difusi agar terhadap jamur uji A. niger dan C. albicans untuk menentukan diameter zona hambat. Hasil uji menunjukkan ekstrak metanol sebagai ekstrak terpilih karena memiliki aktivitas optimum terhadap semua mikroba uji diantara ekstrak lainnya. Nilai KHM dan KBM dari ekstrak metanol pada rentang konsentrasi 3,90 µg/mL hingga 2000 µg/mL terhadap S. aureus, A. hydrophila, E. coli berturut-turut adalah 250 dan 500 µg/mL (potensi moderat), sementara untuk A. niger dan C. albicans pada rentang konsentrasi 12,207 µg/mL hingga 25.000 µg/mL adalah 195,31 µg/mL (potensi moderat). Diameter zona hambat ekstrak metanol terhadap A. niger dan C. albicans adalah 15,36 ±0,23 mm dan 9,73±0,11 mm. Ekstrak terpilih selanjutnya difraksinasi dengan menggunakan kromatografi cair vakum (KCV), sistem eluen yang digunakan adalah elusi secara gradien (n-heksan 100%, n-heksan-etil asetat (8:2), n-heksan-etil asetat (5:5), n-heksan-etil asetat (3:7), metanol (100%) sehingga dihasilkan 7 fraksi gabungan. Dilakukan penggabungan 7 fraksi menjadi 3 fraksi gabungan (F1-F3) berdasarkan pola pemantauan KLT sebelum dilakukan pengujian antimikroba A. hydrophila dan A. niger. Pengujian aktivitas antimikroba dilakukan pada rentang konsentrasi 3,90 µg/mL hingga 2000 µg/mL (bakteri) dan rentang konsentrasi 48,82 µg/mL hingga 25.000 µg/mL (jamur). Nilai KHM dan KBM fraksi F1, F2, F3 terhadap A. hydrophila berturut-turut adalah 976,56 µg/mL (lemah) dan 1953,12 µg/mL (tidak aktif); 97,65 µg/ml (kuat) dan 195,31 µg/mL (menengah) serta 976,56 µg/mL (lemah). Nilai KHM dan KBM fraksi F1, F2, F3 terhadap A. niger berturut-turut adalah 1000 µg/ml (tidak aktif) dan 2000 µg/ml (tidak aktif); 250 µg/mL (potensi moderat) serta 1000 µg/ml (tidak aktif) dan <2000 µg/mL (tidak aktif). Berdasarkan hasil uji aktivitas antimikroba, fraksi terpilih (F2) dilanjutkan ke tahap subfraksinasi menggunakan KCV sebanyak satu kali. Sistem eluen yang digunakan adalah elusi secara gradien (n-heksan-etil asetat (9,5:0,5), n-heksan-etil asetat (9:1), metanol 100%) sehingga dihasilkan 9 fraksi. Berdasarkan pola pemantauan KLT maka 9 fraksi tersebut digabung hingga diperoleh 5 subfraksi (SF 2.1-SF 2.5). Berdasarkan pola pemantauan KLT maka SF 2.3 dan 2.4 digabungkan menjadi SF A. Pemisahan pertama dilakukan terhadap fraksi SF A menggunakan KCV sebanyak satu kali dan menghasilkan 17 subfraksi yang digabungkan menjadi 7 subfraksi (SF A.1-SF A.7). Setelah proses rekristalisasi, satu fraksi SF A.4 membentuk kristal, sehingga kristal SF A.4 dilanjutkan ke tahapan pemurnian. Pemurnian pertama dilakukan terhadap kristal SF A.4 menggunakan teknik kristalisasi hingga dihasilkan 3 bagian, yaitu bagian larut n-heksan (SSF A.4.1), larut sebagian n-heksan (SSF A.4.2) dan kristal putih yang tidak larut n-heksan (SSF A.4.3). Dilakukan pemantauan KLT terhadap ketiga bagian tersebut, kemudian senyawa murni yang diperoleh dari SF A.4.3 diuji kemurniannya. Uji kemurnian SSF A.4.3 dengan KLT 1 dimensi menggunakan tiga fase gerak yang berbeda kepolaran, KLT 2 dimensi dan uji titik leleh. Isolat yang berasal dari SF A.4.3 diberi kode hingga didapat senyawa murni PT-01 (39,2 mg) yang dilanjutkan ke tahap karakterisasi isolat. Pemisahan kedua dilakukan terhadap subfraksi SF A menggunakan kromatografi radial sehingga menghasilkan 6 subfraksi gabungan (SF A.1.2-SF A.1.6). Kemudian, SF A.1.2 dan SF A.1.5 digabung menjadi SF X berdasarkan pola pemantauan KLT. Pemurnian kedua dilakukan terhadap subfraksi SF X menggunakan kromatografi kolom flash (FC) hingga diperoleh 5 subfraksi (SSF X.1-SSF X.5). Berdasarkan hasil kromatogram, maka senyawa murni SFF X.2 yang diberi kode PT-02 diuji kemurnian dengan cara pemurnian yang sama dengan isolat SSF A.4.3. Isolat murni PT-02 (9,1 mg) dilanjutkan ke tahap karakterisasi isolat. Pemisahan ketiga dilakukan terhadap subfraksi SF 2.2 (350 mg) menggunakan kromatografi kolom flash (FC) hingga diperoleh 4 subfraksi (SSF 2.2.1-2.2.4). Pemurnian terakhir dilakukan terhadap senyawa murni yang berpendar biru dibawah sinar UV366nm pada SSF 2.2.4 (36,4 mg). Subfraksi SSF 2.2.4 diuji kemurnian dengan cara pemurnian yang sama dengan isolat SSF A.4.3. Isolat murni yang berasal dari SSF 2.2.4 diberi kode PT-03 (68,1 mg) dilanjutkan ke tahapan karakterisasi isolat. Ketiga isolat (PT-01, PT-02 dan PT-03) yang diperoleh kemudian diuji aktivitas antimikroba menggunakan metode mikrodilusi dan uji gores. Pengujian antimikroba hanya dilakukan pada mikroba yang memiliki sensitivitas terhadap ekstrak dan fraksi. Nilai KHM dari isolat PT-01, PT02 dan PT-03 pada rentang konsentrasi 3,90 µg/mL hingga 2000 µg/mL terhadap A. hydrophila berturut-turut adalah 500 µg/mL (potensi moderat); 2000 µg/mL (tidak aktif), 2000 µg/mL (tidak aktif). Nilai KBM dari isolat PT-01, PT-02 dan PT-03 pada rentang konsentrasi 3,90 µg/mL hingga 2000 µg/mL terhadap A. hydrophila berturut-turut adalah 500 µg/mL (potensi moderat), >2000 µg/mL (tidak aktif) dan 2000 µg/mL (tidak aktif). Nilai KBM dari isolat PT-01, PT-02 dan PT-03 pada rentang 48,82 µg/mL -25.000 µg/mL terhadap A. niger berturut-turut adalah 500 µg/mL (potensi moderat); 500 µg/mL (potensi moderat) dan 1000 µg/mL (potensi lemah). Nilai KBM dari isolat PT-01, PT-02 dan PT-03 pada rentang 48,82 µg/mL-25.000 µg/mL terhadap A. niger berturut-turut adalah 500 µg/mL (potensi moderat); 1000 µg/mL (potensi moderat) dan 1000 µg/mL (potensi lemah). Karakteristik struktur dari isolat PT-01, PT-02 dan PT-03 dilakukan menggunakan spektroskopi Ultraviolet (UV), Spektroskopi Infra Merah Fourier-transform (FT-IR), Spektroskopi Massa (MS) dan Resonansi Magnetik Nuklir (NMR). Berdasarkan hasil analisis struktur tersebut, diketahui bahwa isolat P-01 adalah stigmasterol, isolat PT-02 adalah bis-2 (etilheksil) ftalat atau Di-2 (etilheksil) ftalat (DEHP) dan isolat PT-03 adalah dibutil ftalat (DBP). Penelitian ini melaporkan bahwa PT-01 merupakan stigmasterol pertama yang berhasil diisolasi dari P. tener. Selain itu, dua senyawa DEHP dan DBP merupakan senyawa marker pertama yang berhasil diisolasi dari P. tener. Mikropropagasi in vitro merupakan salah satu upaya dalam peningkatan kadar senyawa aktif stigmasterol sekaligus upaya konservasi untuk mencegah kepunahan. Berdasarkan hasil analisis profil kandungan metabolit pada P. tener wild type tidak terdeteksi kandungan stigmasterol pada ekstrak metanol, sehingga perlu dilakukan upaya peningkatan kadar stigmasterol menggunakan teknik kultur jaringan. Mikropropagasi in vitro dilakukan menggunakan media agar dan kultur akar adventif pada media cair menggunakan dua media basal Murashige-Skoog dan B5-Gamborg (MS dan B5). Kedua medium basal tersebut dimodifikasi dengan suplementasi makronutrisi KNO3 sebanyak 0,25x, senyawa organik dan vitamin yaitu myo-inositol (1x), sukrosa (1/3 x), asam nikotinat (4x), piridoksin HCl (4x), dan thiamin HCl (4x) dan zat pengatur tumbuh (ZPT) sitokinin sintetik 6-benzyl-aminopurine (BA) 0,1 mg/mL. Hasil pengamatan selama 28 hari pada media agar menunjukkan medium optimum untuk mikropropagasi pada kelompok MS adalah MS Suplementasi (M2) dan kelompok B5 adalah B5 Suplementasi+0,1BA (B3) karena menghasilkan tunas dan ruas dengan percabangan optimum. Selanjutnya, dilakukan kultur akar adventif dari planlet optimum yang tumbuh pada dua kelompok media basal (MS dan B5). Diambil sebanyak 3 akar berukuran 3 cm dari planlet yang berumur 28 hari, kemudian ditumbuhkan dalam media cair yang dimodifikasi. Modifikasi media cair menggunakan modifikasi nutrisi seperti pada media agar serta dua hormon pertumbuhan auksin sintetik indole butyric acid (IBA) dan naphtalene acetic acid (NAA). Hasil pengamatan selama 28 hari pada media cair menunjukkan medium optimum untuk kultur akar adventif pada kelompok MS adalah MS Suplementasi+IBA (kode: MSC) dan kelompok B5 MS Suplementasi+IBA (kode: B5C) karena menghasilkan perpanjangan dan jumlah akar yang optimum. Proses aklimatisasi dilakukan selama 3 bulan pada M2, B3, MC2 dan BC2 karena pada tunas tersebut telah tumbuh akar dengan baik. Penanaman planlet dilakukan pada media akuarium dengan menggunakan kombinasi media tumbuh berupa tanah lembab, batu kali dan air 250 mL, pada suhu 25 o C selama 8 minggu. Setelah 4 minggu, ditambahkan 1 ekor ikan air tawar spesies cupang (Betta splendens) kedalam akuarium. Pada rentang pengamatan minggu ke-1 sampai 4, tumbuhan in vitro pada media M2 dan B3 menghasilkan tunas dan daun, sementara planlet MC2 dan BC2 menghasilkan akar berbulu halus. Selanjutnya, pada rentang waktu minggu ke-4 sampai minggu ke-8, seluruh tumbuhan invitro tetap tumbuh, kecuali tumbuhan BC2 yang mengalami kematian pada minggu ke-7. Penentuan kadar senyawa aktif stigmasterol pada hasil subkultur optimum pada media agar dan subkultur optimum pada media cair dilakukan terhadap dua kelompok media MS dan B5 menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Hasil analisis KCKT menunjukkan kadar stigmasterol tertinggi ditemukan pada planlet yang tumbuh di media modifikasi agar yaitu media MS+Suplementasi (M2) sebesar 1,100?0,032% sementara pada media modifikasi cair adalah media MS+200 IBA (MSC) sebesar 0,596?0,019%. Ini menunjukkan peningkatan produksi stigmasterol dari P. tener Wild type yang hampir tidak terdeteksi pada konsentrasi 0,009?0% hingga berada pada rentang 0,264?0,027% sampai 1,100?0,032% pada planlet yang berumur 4 minggu. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini menggambarkan potensi kultur jaringan in vitro untuk produksi stigmasterol dan upaya konservasi P. tener untuk memenuhi kebutuhan farmasi saat ini dan masa depan.