Tumbuhan dari keluarga Araceae memiliki keanekaragaman yang tinggi serta memiliki peta
penyebaran di seluruh dunia. Marga Pothos merupakan salah satu tumbuhan suku Araceae yang
banyak dimanfaatkan dalam pengobatan tradisional di Asia. Marga Pothos memiliki beberapa
spesies populer, diantaranya adalah P. scandens dan P. chinensis yang merupakan bagian dari
pengobatan tradisional di Cina dan salah satu ayurveda penting di India. Sementara itu, spesies P.
tener yang merupakan tumbuhan endemik Sulawesi, belum dieksplorasi secara optimal sehingga
belum diketahui manfaat tanaman ini terhadap manusia dan hewan. Telah dilaporkan bahwa
tumbuhan P. tener menunjukkan potensi sebagai antibakteri alami terhadap ikan air tawar.
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan potensi pemanfaatan P. tener dalam bidang farmasi
veteriner, terutama untuk mengatasi permasalahan resistensi antimikroba dalam ikan budidaya
serta upaya konservasi secara in vitro (mikropropagasi) untuk mencegah kepunahan apabila akan
dimanfaatkan dalam bidang farmasi, mengingat P. tener merupakan tanaman endemik pada habitat
terbatas. Pemanfaatan sumber daya alam Indonesia secara berkelanjutan untuk dikembangkan
sebagai obat, dimana penemuan kandidat senyawa antibakteri alam dari P. tener merupakan hal
yang krusial untuk meningkatkan kualitas ikan budidaya. Hal ini akan berdampak positif terhadap
pertumbuhan ekonomi-sosial dan peningkatan kesehatan masyarakat Indonesia.
Tahap awal penelitian adalah melakukan determinasi tumbuhan segar P. tener untuk memastikan
kebenaran bahan yang digunakan. Selanjutnya, dilakukan standardisasi bahan baku meliputi
seluruh aspek parameter spesifik dan non-spesifik simplisia dan ekstrak. Hasil studi morfologi
menunjukkan bahwa tipe daun P. tener memiliki pertulangan menyirip, bangun daun bulat telur,
elips atau lanset dan ujung lancip. Hasil pengamatan mikroskopik menunjukkan tipe stomata
ambibraxiparacytic, sebaran kristal roset dan sel sekresitori osmofor yang merupakan ciri khas
dari keluarga Araceae. Sampel tanaman diekstraksi bertingkat dengan cara dingin (maserasi)
menggunakan pelarut etil asetat dan metanol. Profil metabolit dari ekstrak n-heksan, etil asetat dan
metanol P. tener ditentukan menggunakan GC-MS. Hasil analisis GC-MS menunjukkan 213 total
senyawa dari ketiga ekstrak P. tener terdiri dari 73 senyawa pada ekstrak n-heksan, 114 senyawa
pada ekstrak etil asetat dan 26 senyawa pada ekstrak metanol. Total kandungan senyawa yang
teridentifikasi pada ketiga ekstrak P. tener meliputi ester asam ftalat (81,63%). Total kandungan
senyawa pada ekstrak metanol dan etil asetat meliputi asam lemak (19,56%). Total kandungan
senyawa pada ekstrak metanol dan n-heksan meliputi metil ester asam lemak (27,93%). Total
kandungan senyawa pada ekstrak n-heksan dan etil asetat meliputi alkana (18,03%). Senyawa lain
yang terdeteksi pada ekstrak metanol adalah alkohol (6,69%). Senyawa lain yang terdeteksi pada
etil asetat adalah fenol (3,06%) dan aldehid (1,82%). Sementara stigmasterol (2,31%) terdeteksi
pada ekstrak n-heksan. Hasil penapisan fitokimia dari ketiga ekstrak P. tener menunjukkan
keberadaan golongan alkaloid, tannin, polifenol, flavonoid, kuinon, mono/seskuiterpen, steroid
dan triterpenoid.
Tahap kedua penelitian adalah melakukan isolasi senyawa aktif dari P. tener berdasarkan hasil uji
aktivitas antimikroba. Langkah awal penelitian dimulai dengan melakukan pemetaan aktivitas
antimikroba ketiga ekstrak P. tener terhadap mikroba uji meliputi Staphylococcus aureus ATCC
6538, Aeromonas hydrophila ATCC 7966, Eschericia coli ATCC 8939, Aspergillus niger ATCC
16404 dan Candida albicans ATCC 10231. Protokol uji yang digunakan untuk menentukan nilai
KHM adalah metode uji mikrodilusi yang dilanjutkan dengan metode uji gores untuk menentukan
nilai KBM terhadap seluruh mikroba uji. Sebagai tambahan, dilakukan uji difusi agar terhadap
jamur uji A. niger dan C. albicans untuk menentukan diameter zona hambat. Hasil uji
menunjukkan ekstrak metanol sebagai ekstrak terpilih karena memiliki aktivitas optimum terhadap
semua mikroba uji diantara ekstrak lainnya. Nilai KHM dan KBM dari ekstrak metanol pada
rentang konsentrasi 3,90 µg/mL hingga 2000 µg/mL terhadap S. aureus, A. hydrophila, E. coli
berturut-turut adalah 250 dan 500 µg/mL (potensi moderat), sementara untuk A. niger dan C.
albicans pada rentang konsentrasi 12,207 µg/mL hingga 25.000 µg/mL adalah 195,31 µg/mL
(potensi moderat). Diameter zona hambat ekstrak metanol terhadap A. niger dan C. albicans adalah
15,36 ±0,23 mm dan 9,73±0,11 mm.
Ekstrak terpilih selanjutnya difraksinasi dengan menggunakan kromatografi cair vakum (KCV),
sistem eluen yang digunakan adalah elusi secara gradien (n-heksan 100%, n-heksan-etil asetat
(8:2), n-heksan-etil asetat (5:5), n-heksan-etil asetat (3:7), metanol (100%) sehingga dihasilkan 7
fraksi gabungan. Dilakukan penggabungan 7 fraksi menjadi 3 fraksi gabungan (F1-F3)
berdasarkan pola pemantauan KLT sebelum dilakukan pengujian antimikroba A. hydrophila dan
A. niger. Pengujian aktivitas antimikroba dilakukan pada rentang konsentrasi 3,90 µg/mL hingga
2000 µg/mL (bakteri) dan rentang konsentrasi 48,82 µg/mL hingga 25.000 µg/mL (jamur). Nilai
KHM dan KBM fraksi F1, F2, F3 terhadap A. hydrophila berturut-turut adalah 976,56 µg/mL
(lemah) dan 1953,12 µg/mL (tidak aktif); 97,65 µg/ml (kuat) dan 195,31 µg/mL (menengah) serta
976,56 µg/mL (lemah). Nilai KHM dan KBM fraksi F1, F2, F3 terhadap A. niger berturut-turut
adalah 1000 µg/ml (tidak aktif) dan 2000 µg/ml (tidak aktif); 250 µg/mL (potensi moderat) serta
1000 µg/ml (tidak aktif) dan <2000 µg/mL (tidak aktif).
Berdasarkan hasil uji aktivitas antimikroba, fraksi terpilih (F2) dilanjutkan ke tahap subfraksinasi
menggunakan KCV sebanyak satu kali. Sistem eluen yang digunakan adalah elusi secara gradien
(n-heksan-etil asetat (9,5:0,5), n-heksan-etil asetat (9:1), metanol 100%) sehingga dihasilkan 9
fraksi. Berdasarkan pola pemantauan KLT maka 9 fraksi tersebut digabung hingga diperoleh 5
subfraksi (SF 2.1-SF 2.5). Berdasarkan pola pemantauan KLT maka SF 2.3 dan 2.4 digabungkan
menjadi SF A. Pemisahan pertama dilakukan terhadap fraksi SF A menggunakan KCV sebanyak
satu kali dan menghasilkan 17 subfraksi yang digabungkan menjadi 7 subfraksi (SF A.1-SF A.7).
Setelah proses rekristalisasi, satu fraksi SF A.4 membentuk kristal, sehingga kristal SF A.4
dilanjutkan ke tahapan pemurnian. Pemurnian pertama dilakukan terhadap kristal SF A.4
menggunakan teknik kristalisasi hingga dihasilkan 3 bagian, yaitu bagian larut n-heksan (SSF
A.4.1), larut sebagian n-heksan (SSF A.4.2) dan kristal putih yang tidak larut n-heksan (SSF
A.4.3). Dilakukan pemantauan KLT terhadap ketiga bagian tersebut, kemudian senyawa murni
yang diperoleh dari SF A.4.3 diuji kemurniannya. Uji kemurnian SSF A.4.3 dengan KLT 1 dimensi
menggunakan tiga fase gerak yang berbeda kepolaran, KLT 2 dimensi dan uji titik leleh. Isolat
yang berasal dari SF A.4.3 diberi kode hingga didapat senyawa murni PT-01 (39,2 mg) yang
dilanjutkan ke tahap karakterisasi isolat.
Pemisahan kedua dilakukan terhadap subfraksi SF A menggunakan kromatografi radial sehingga
menghasilkan 6 subfraksi gabungan (SF A.1.2-SF A.1.6). Kemudian, SF A.1.2 dan SF A.1.5
digabung menjadi SF X berdasarkan pola pemantauan KLT. Pemurnian kedua dilakukan terhadap
subfraksi SF X menggunakan kromatografi kolom flash (FC) hingga diperoleh 5 subfraksi (SSF
X.1-SSF X.5). Berdasarkan hasil kromatogram, maka senyawa murni SFF X.2 yang diberi kode
PT-02 diuji kemurnian dengan cara pemurnian yang sama dengan isolat SSF A.4.3. Isolat murni
PT-02 (9,1 mg) dilanjutkan ke tahap karakterisasi isolat.
Pemisahan ketiga dilakukan terhadap subfraksi SF 2.2 (350 mg) menggunakan kromatografi
kolom flash (FC) hingga diperoleh 4 subfraksi (SSF 2.2.1-2.2.4). Pemurnian terakhir dilakukan
terhadap senyawa murni yang berpendar biru dibawah sinar UV366nm pada SSF 2.2.4 (36,4 mg).
Subfraksi SSF 2.2.4 diuji kemurnian dengan cara pemurnian yang sama dengan isolat SSF A.4.3.
Isolat murni yang berasal dari SSF 2.2.4 diberi kode PT-03 (68,1 mg) dilanjutkan ke tahapan
karakterisasi isolat.
Ketiga isolat (PT-01, PT-02 dan PT-03) yang diperoleh kemudian diuji aktivitas antimikroba
menggunakan metode mikrodilusi dan uji gores. Pengujian antimikroba hanya dilakukan pada
mikroba yang memiliki sensitivitas terhadap ekstrak dan fraksi. Nilai KHM dari isolat PT-01, PT02 dan PT-03 pada rentang konsentrasi 3,90 µg/mL hingga 2000 µg/mL terhadap A. hydrophila
berturut-turut adalah 500 µg/mL (potensi moderat); 2000 µg/mL (tidak aktif), 2000 µg/mL (tidak
aktif). Nilai KBM dari isolat PT-01, PT-02 dan PT-03 pada rentang konsentrasi 3,90 µg/mL hingga
2000 µg/mL terhadap A. hydrophila berturut-turut adalah 500 µg/mL (potensi moderat), >2000
µg/mL (tidak aktif) dan 2000 µg/mL (tidak aktif). Nilai KBM dari isolat PT-01, PT-02 dan PT-03
pada rentang 48,82 µg/mL -25.000 µg/mL terhadap A. niger berturut-turut adalah 500 µg/mL
(potensi moderat); 500 µg/mL (potensi moderat) dan 1000 µg/mL (potensi lemah). Nilai KBM
dari isolat PT-01, PT-02 dan PT-03 pada rentang 48,82 µg/mL-25.000 µg/mL terhadap A. niger
berturut-turut adalah 500 µg/mL (potensi moderat); 1000 µg/mL (potensi moderat) dan 1000
µg/mL (potensi lemah).
Karakteristik struktur dari isolat PT-01, PT-02 dan PT-03 dilakukan menggunakan spektroskopi
Ultraviolet (UV), Spektroskopi Infra Merah Fourier-transform (FT-IR), Spektroskopi Massa (MS)
dan Resonansi Magnetik Nuklir (NMR). Berdasarkan hasil analisis struktur tersebut, diketahui
bahwa isolat P-01 adalah stigmasterol, isolat PT-02 adalah bis-2 (etilheksil) ftalat atau Di-2
(etilheksil) ftalat (DEHP) dan isolat PT-03 adalah dibutil ftalat (DBP). Penelitian ini melaporkan
bahwa PT-01 merupakan stigmasterol pertama yang berhasil diisolasi dari P. tener. Selain itu, dua
senyawa DEHP dan DBP merupakan senyawa marker pertama yang berhasil diisolasi dari P. tener.
Mikropropagasi in vitro merupakan salah satu upaya dalam peningkatan kadar senyawa aktif
stigmasterol sekaligus upaya konservasi untuk mencegah kepunahan. Berdasarkan hasil analisis
profil kandungan metabolit pada P. tener wild type tidak terdeteksi kandungan stigmasterol pada
ekstrak metanol, sehingga perlu dilakukan upaya peningkatan kadar stigmasterol menggunakan
teknik kultur jaringan. Mikropropagasi in vitro dilakukan menggunakan media agar dan kultur
akar adventif pada media cair menggunakan dua media basal Murashige-Skoog dan B5-Gamborg
(MS dan B5). Kedua medium basal tersebut dimodifikasi dengan suplementasi makronutrisi KNO3
sebanyak 0,25x, senyawa organik dan vitamin yaitu myo-inositol (1x), sukrosa (1/3 x), asam
nikotinat (4x), piridoksin HCl (4x), dan thiamin HCl (4x) dan zat pengatur tumbuh (ZPT) sitokinin
sintetik 6-benzyl-aminopurine (BA) 0,1 mg/mL. Hasil pengamatan selama 28 hari pada media agar
menunjukkan medium optimum untuk mikropropagasi pada kelompok MS adalah MS
Suplementasi (M2) dan kelompok B5 adalah B5 Suplementasi+0,1BA (B3) karena menghasilkan
tunas dan ruas dengan percabangan optimum.
Selanjutnya, dilakukan kultur akar adventif dari planlet optimum yang tumbuh pada dua kelompok
media basal (MS dan B5). Diambil sebanyak 3 akar berukuran 3 cm dari planlet yang berumur 28
hari, kemudian ditumbuhkan dalam media cair yang dimodifikasi. Modifikasi media cair
menggunakan modifikasi nutrisi seperti pada media agar serta dua hormon pertumbuhan auksin
sintetik indole butyric acid (IBA) dan naphtalene acetic acid (NAA). Hasil pengamatan selama 28
hari pada media cair menunjukkan medium optimum untuk kultur akar adventif pada kelompok
MS adalah MS Suplementasi+IBA (kode: MSC) dan kelompok B5 MS Suplementasi+IBA (kode:
B5C) karena menghasilkan perpanjangan dan jumlah akar yang optimum.
Proses aklimatisasi dilakukan selama 3 bulan pada M2, B3, MC2 dan BC2 karena pada tunas
tersebut telah tumbuh akar dengan baik. Penanaman planlet dilakukan pada media akuarium
dengan menggunakan kombinasi media tumbuh berupa tanah lembab, batu kali dan air 250 mL,
pada suhu 25
o
C selama 8 minggu. Setelah 4 minggu, ditambahkan 1 ekor ikan air tawar spesies
cupang (Betta splendens) kedalam akuarium. Pada rentang pengamatan minggu ke-1 sampai 4,
tumbuhan in vitro pada media M2 dan B3 menghasilkan tunas dan daun, sementara planlet MC2
dan BC2 menghasilkan akar berbulu halus. Selanjutnya, pada rentang waktu minggu ke-4 sampai
minggu ke-8, seluruh tumbuhan invitro tetap tumbuh, kecuali tumbuhan BC2 yang mengalami
kematian pada minggu ke-7.
Penentuan kadar senyawa aktif stigmasterol pada hasil subkultur optimum pada media agar dan
subkultur optimum pada media cair dilakukan terhadap dua kelompok media MS dan B5
menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Hasil analisis KCKT menunjukkan
kadar stigmasterol tertinggi ditemukan pada planlet yang tumbuh di media modifikasi agar yaitu
media MS+Suplementasi (M2) sebesar 1,100?0,032% sementara pada media modifikasi cair
adalah media MS+200 IBA (MSC) sebesar 0,596?0,019%. Ini menunjukkan peningkatan produksi
stigmasterol dari P. tener Wild type yang hampir tidak terdeteksi pada konsentrasi 0,009?0%
hingga berada pada rentang 0,264?0,027% sampai 1,100?0,032% pada planlet yang berumur 4
minggu. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini menggambarkan potensi kultur jaringan in vitro
untuk produksi stigmasterol dan upaya konservasi P. tener untuk memenuhi kebutuhan farmasi
saat ini dan masa depan.