Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia dalam bentuk bijih laterit
dengan total 49 juta ton nikel. Produksi nikel Indonesia pada tahun 2022 mencapai
1,6 juta ton dan membuat Indonesia menjadi negara produsen nikel terbesar di
dunia, dimana produksi tersebut didominasi dari pengolahan bijih nikel laterit tipe
saprolit. Umumnya, bijih nikel saprolit diolah melalui proses pirometalurgi dengan
rute Rotary Kiln-Electric Furnace (RKEF). Pengolahan melalui jalur ini mewakili
95% dari total jalur pengolahan bijih nikel saprolit di dunia. Pengolahan bijih nikel
saprolit melalui RKEF dapat menghasilkan produk berupa feronikel dengan
kandungan nikel sekitar 20-40%. Pemanfaatan feronikel telah menjadi krusial
dalam berbagai industri di seluruh dunia, khususnya industri besi baja. Namun, jalur
proses produksi feronikel melalui RKEF dapat mengemisikan 24,1 ton CO2e per
ton feronikel sehingga menjadi industri ferroalloy dengan emisi terbesar. Pada
Perjanjian Paris 2015 dan komitmen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terhadap
netralitas karbon, kebutuhan untuk mengurangi emisi ini menjadi sangat krusial.
Selama beberapa dekade terakhir, penggunaan hidrogen sebagai reduktor mulai
dilirik karena dinilai jauh lebih ramah lingkungan. Oleh karena itu, telah banyak
inovasi untuk memanfaatkan gas hidrogen di skala lab dan industri. Salah satunya
yakni melalui teknologi Hydrogen Plasma Smelting Reduction (HPSR). Walaupun
berbagai penelitian terkait reduksi logam oksida telah mengungkap potensi dari
teknologi ini, namun belum terdapat studi skala laboratorium yang mengungkap
potensi produksi green feronikel menggunakan HPSR.
Pada penelitian ini, bijih nikel laterit yang digunakan tipe saprolit. Bijih tersebut
dipreparasi terlebih dahulu yang meliputi proses pengeringan dan karakterisasi.
Karakterisasi dilakukan menggunakan X-Ray Diffraction (XRD) dan X-Ray
Fluorescence (XRF) untuk mengetahui komposisi kimia pada bijih. Percobaan
dilanjutkan dengan pembriketan bijih nikel, kemudian dimasukkan ke dalam
reaktor HPSR. Produk feronikel yang dihasilkan dianalisis menggunakan Scanning
Electron Microscope-Energy Dispersive Spectroscopy (SEM-EDS) agar komposisi
kimia dari produk feronikel tersebut dapat diketahui dan dianalisis lebih lanjut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bijih nikel laterit yang diolah menggunakan
HPSR harus dikalsinasi terlebih dahulu untuk memastikan bahwa proses peleburan
dan reduksi dapat berlangsung efektif. Green feronikel dapat diproduksi dengan
cepat melalui proses HPSR hanya selama 180 detik dengan kadar 70,64% Fe dan
23,98% Ni, serta sulfur dan fosfor tidak terdeteksi. Akibatnya, proses desulfurisasi
dan defosforisasi dapat dihilangkan. Produk green feronikel ini juga sesuai dengan
perhitungan termodinamika yang dilakukan menggunakan perangkat lunak
FactSage 8.2. Selain itu, parameter proses berupa total laju alir gas dan berat sampel
juga dianalisis. Hasil analisis menunjukkan bahwa komposisi green feronikel
maupun terak yang dihasilkan tidak dipengaruhi secara signifikan oleh laju alir gas,
sementara berat sampel berpengaruh signifikan. Oleh karena itu, produksi green
feronikel menggunakan HPSR sangat berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut.