Peningkatan jumlah penduduk Indonesia dalam 2 tahun terakhir ini cukup signifikan. Jumlah penduduk Indonesia tahun 2021 sebanyak 272,68 juta jiwa meningkat pada tahun 2022 menjadi 275,77 juta jiwa (BPS, 2022). Peningkatan jumlah penduduk akan berdampak pada upaya pemenuhan kebutuhan papan seperti pemukiman, pertokoan, dan bangunan publik lainnya. Dengan demikian, jumlah alih fungsi lahan juga mengalami peningkatan dan menyebabkan persaingan penggunaan lahan antara sektor non pertanian dengan sektor pertanian, sehingga jumlah lahan pertanian semakin menurun. Selain kebutuhan papan, kebutuhan akan pangan juga semakin meningkat (Prabowo et al., 2020). Sehingga, perlu dilakukan usaha untuk meningkatkan produktivitas lahan pertanian dari sisi kuantitas maupun kualitasnya.
Seiring dengan perkembangan zaman, minat masyarakat akan produk pertanian semakin berubah. Saat ini, masyarakat lebih memperhatikan nilai gizi dari produk yang dikonsumsinya. Salah satu makanan yang cukup banyak diminati oleh masyarakat adalah makanan segar yang mengandung banyak nutrisi berupa microgreens (Rokhmah et al., 2020). Microgreens adalah sayuran kecil yang berasal dari biji berbagai jenis sayuran dan hanya memiliki kotiledon atau sepasang daun pertama yang masih muda (Xiao et al., 2014). Keunggulan utama microgreens dijadikan sebagai tanaman budidaya yaitu tingginya kandungan nutrisi yang dimiliki. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Xiao et al. (2012), diketahui bahwa microgreens memiliki jumlah nutrisi dan vitamin yang tinggi mencapai 4 - 40 kali lipat lebih tinggi daripada tumbuhan dewasanya. Namun, dalam menjalankan usaha microgreens terdapat tantangan yang memerlukan inovasi untuk mengatasinya. Salah satu tantangannya yaitu munculnya jamur pada permukaan media tanam yang menyebabkan microgreens mudah rebah dan busuk. Hal ini bisa terjadi karena tingkat kelembaban media tanam terlalu tinggi dan sirkulasi udara sedikit (Salim et al., 2021). Salah satu sistem budidaya ramah lingkungan yang bisa diterapkan untuk meningkatkan produktivitas microgreens adalah sistem budidaya akuaponik. Akuaponik adalah kegiatan budidaya tanaman secara hidroponik bersamaan dengan budidaya ikan secara akuakultur (Effendi et al., 2015). Prinsip kerja akuaponik adalah memanfaatkan limbah kotoran ikan dan sisa pakan ikan sebagai nutrisi untuk tanaman budidaya (Rahmadhani et al., 2020). Selain itu, akuaponik juga memanfaatkan tanaman budidaya sebagai filter air kolam ikan dan mengurangi kadar amonia yang bisa mengganggu kelangsungan hidup ikan agar bisa digunakan kembali untuk pemeliharaan ikan (Wijayanti et al., 2019). Pada umumnya, sistem irigasi akuaponik menyuplai air pada akar tanaman secara terus menerus. Namun, apabila dikombinasikan dengan aeroponik pemberian air tidak dilakukan secara terus menerus melainkan diatur sesuai kebutuhan. Penyiraman secara aeroponik dilakukan dua kali (pagi dan sore hari), masing-masing selama satu menit melalui nozzle yang menyemprotkan air dalam bentuk kabut.
Tanaman kangkung darat memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai tanaman microgreens karena kaya akan nutrisi. Dalam 100 g kangkung darat terdapat 29 kalori, 3 g protein, 5,4 g karbohidrat, 0,3 g lemak, 73 mg kalsium, 1 g serat, 50 mg fosfor, 2,5 mg besi, 6.300 IU vitamin A, 0,07 mg vitamin B1, 32 mg vitamin C, dan 89,7 g air (Ansyari et al., 2022). Jenis ikan yang sering digunakan pada system akuaponik adalah ikan air tawar. Salah satu jenis ikan air tawar yang banyak digemari oleh masyarakat Indonesia adalah ikan nila. Keunggulan yang dimiliki ikan nila adalah warnanya yang menarik dan pertumbuhannya yang relatif lebih cepat dibandingkan ikan jenis lainnya. Dalam waktu 5 bulan, ikan nila dapat tumbuh mencapai berat 120 gram (Andriany, 2018). Selain itu, ikan nila juga termasuk ikan yang bisa bertahan hidup di air payau dan lebih adaptif terhadap serangan penyakit, serta memiliki toleransi yang sangat tinggi terhadap berbagai macam cekaman lingkungan baik cekaman salinitas, suhu, pH, maupun kadar oksigen (Khairuman & Amri, 2013). Ikan nila juga memiliki peluang bisnis yang cukup prospektif. Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia, pada tahun 2021 produksi ikan nila mencapai 1,35 juta ton dengan nilai 33,62 triliun (KKP, 2022). Berdasarkan hasil Penelitian produksi Biomassa (Tugas Akhir 1)
diperoleh informasi mengenai penggunaan media tanam yang tepat dalam
proses produksi microgreens kangkung pada system akuaponik dengan system
irigasi aeroponik. Hasil penelitian menunjukan bahwa media tanam perlite
menghasilkan microgreens dengan kuantitas dan kualitas yang lebih baik
dibandingkan dengan media tanam cocopeat dan kapas. Analisis R/C ratio juga
menunjukan bahwa penggunaan media tanam perlite memiliki nilai paling
tinggi dibandingkan dengan penggunaan media tanam cocopeat dan kapas.
Skema system produksi microgreens kangkung dapat dilihat pada
(GAMBAR DAPAT DILIHAT PADA FILE YANG SUDAH DI UPLOAD)
Kapasitas produksi biomassa yang dihasilkan dari budidaya akuaponik ini
dibagi menjadi 2 sub produk yakni microgreens kangkung dan ikan nila. Terdapat
44 baki microgreens yang diatur pola tanamnya agar dapat dilakukan pemanenan
setiap hari. Produksi microgreens dilakukan selama 1 tahun dimulai dengan
persiapan tanam pertama pada tanggal 1 Januari dan panen pertama pada tanggal 12 Januari. Dalam waktu satu tahun dilakukan pemanenan sebanyak 234 kali (4 baki/panen). Microgreens kangkung memiliki kapasitas produksi sebesar 232,6 kg/tahun. Kemudian, produksi ikan nila dijalankan selama 6 bulan dengan dua siklus selama 1 tahun dan memiliki kapasitas produksi sebesar 151,9 kg/tahun. Secara keseluruhan, produksi microgreens memiliki total fixed cost sebesar Rp. 229.620.000,00 dan total variable cost pada tahun pertama sebesar Rp. 21.078.800,00, tahun kedua sebesar Rp. 24.240.620,00, tahun kedua sebesar Rp. 32.058.219,95, serta tahun keempat sebesar Rp. 32.058.219,95.
Analisis BEP digunakan untuk melihat apakah pendapatan yang diperoleh dapat menutup keseluruhan biaya produksi yang dikeluarkan Hasil analisis perhitungan BEP menunjukan untuk mencapai titik impas (kondisi tidak rugi dan tidak untung), usaha ini harus mencapai produksi microgreens sebanyak 174,96 kg dan ikan nila sebanyak 114,26 kg. Sedangkan, BEP rupiah ntuk microgreens sebesar Rp 174.962.563,24 dan ikan nila sebesar Rp 5.712.986,53. Dengan demikian, system Pra-rancangan ini akan mengalami keuntungan penjualan apabila produksi microgreens dan ikan nila melebihi titik impas atau nilai BEP yang sudah dihasilkan.
Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan terhadap kriteria investasi pada system Pra-rancangan ini, diperoleh nilai PP (Payback Periode), NPV (Net Present Value), dan IRR (Internal Rate of Return). Nilai PP menunjukan waktu yang dibutuhkan untuk pengembalian investasi. Nilai PP yang diperoleh adalah sebesar 0,6, maka dapat dikatakan bahwa dibutuhkan waktu selama 6 bulan untuk dapat mengembalikan seluruh biaya investasi yang digunakan pada system Pra-rancangan ini. Berdasarkan kriteria investasi Payback Periode masih dalam umur aset intalasi yang digunakan, sehingga usaha ini masih layak untuk dijalankan. Nilai NPV (Net Present Value) yang dihasilkan dari perhitungan adalah sebesar Rp. 204.659.324,49. Berdasarkan nilai tersebut, biaya investasi yang dikeluarkan pada system Pra-rancangan ini dapat dikatakan layak karena nilai NPV>0, sehingga perusahaan tidak mengalami kerugian akibat investasi yang dilakukan. Analisis IRR (Internal Rate of Return) yang diperoleh dari perhitungan adalah sebesar 44,21%. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, nilai IRR yang diperoleh lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku pada system Pra-rancangan ini yaitu 6%. Nilai IRR 44,21% artinya tingkat pengembalian usaha microgreens terhadap investasi yang ditanamkan sebesar 44,21%. Selanjutnya, untuk hasil perhitungan B/C ratio diperoleh nilai 1,63 ? 1. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa investasi yang digunakan pada system Pra-rancangan ini layak untuk dijalankan.