Industri pertahanan adalah institusi strategis bagi sebuah negara untuk menguasai
dan mengembangkan teknologi pertahanan. Penguasaan dan pengembangan
teknologi pertahanan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan alat peralatan
pertahanan (alpalhan) yang akan dipakai dalam sistem pertahanan negara.
Teknologi pertahanan memerlukan pengelolaan lebih kompleks dari teknologi pada
umumnya karena digunakan secara terus menerus sampai penghapusan, bersifat
rahasia, rentan terhadap pembatasan, dan memerlukan pembiayaan tinggi. Oleh
karena itu, penguasaan dan pengembangan teknologi pertahanan membutuhkan
manajemen teknologi yang melibatkan beberapa pemangku kepentingan dari
berbagai bidang keilmuan. Guna menyatukan cara pandang para pemangku
kepentingan dibutuhkan acuan agar terjalin komunikasi sehingga dapat memahami
dan menyiapkan strategi sesuai bidang masing-masing. Salah satu acuan yang
sudah banyak digunakan oleh negara dunia adalah Technology Readiness Level
(TRL) yang mengklasifikasikan teknologi menjadi 9 tingkatan. Tingkatan yang
lebih rendah menjadi landasan bagi tingkatan berikutnya. Definisi dan indikator
TRL sederhana dan bersifat fleksibel sehingga pola kerjanya terus dikembangkan
sesuai dengan kebutuhan seperti Manufacturing Readiness Level (MRL),
Integration Readiness Level (IRL), TRL calculator yang disusun oleh William
Nolte (2003) dan dikenal dengan istilah Tingkat Kesiapan Teknologi (TKT). TKT
mengelaborasi tiga aspek yaitu teknologi, manufaktur, dan integrasi. Ketiga aspek
tersebut telah diimplementasikan untuk mengukur kemajuan penelitian di Indonesia
berdasarkan Peraturan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi
(Ristekdikti) nomor 42 tahun 2016. TKT terbagi menjadi tiga kategori yaitu layak
desain, layak teknis atau layak terap.
TKT Permenristekdikti 42/2016 kurang komprehensif untuk mengukur kesiapan
teknologi pertahanan di Indonesia karena sebagian besar alpalhan yang digunakan
pada sistem pertahanan di Indonesia merupakan produk industri pertahanan luar
negeri yang diakusisi melalui pembelian. Penguasaan dan pengembangan teknologi
pertahanan di Indonesia rata-rata dimulai dari kegiatan pasca produksi seperti
pemeliharaan, modifikasi, dan modernisasi serta penghapusan. Ketersediaan suku
cadang kritis dan keusangan merupakan tantangan utama kegiatan pasca produksi,
ii
sehingga pengukuran kesiapan teknologi sangat dibutuhkan sebelum dan sesudah
kegiatan dilaksanakan. Selain aspek kesiapan teknologi, manufaktur, dan integrasi
teknologi, aspek inovasi juga dibutuhkan. Kebutuhan aspek inovasi merupakan
keterbaruan yang belum pernah dilakukan pada penelitian-penelitian sebelumnya.
Oleh karena itu, perlu dilakukan penelilitan untuk menyusun model TKT
pertahanan mengacu pada TKT Permenristekdikti 42/2016 dan Permenhan tentang
standarisasi komoditas militer serta Permenhan tentang kelaikan. Pengembangan
diawali dengan kegiatan konfirmasi kebutuhan aspek inovasi dalam pengukuran
teknologi pertahanan pasca produksi dan dilanjutkan dengan wawancara tentang
definisi dan indikator masing-masing tingkatan guna menyusun Model Awal TKT
bidang Pertahanan. Model awal TKT pertahanan kemudian diverifikasi melalui
wawancara narasumber dari kalangan engineer/production/marketing industri
pertahanan menggunakan studi kasus I. Model tersebut divalidasi menggunakan
studi kasus II serta Focus Grup Discussion (FGD). Model TKT pertahanan yang
dihasilkan terdiri dari identifikasi teknologi, penyusunan konsep teknologi, validasi
konsep teknologi, validasi sub-sistem, validasi prototipe di lingkungan
laboratorium, validasi prototipe di lingkungan relevan, demonstrasi teknologi di
lingkungan operasi, penyempurnaan teknologi, teknologi teruji dan teknologi
terbukti.