Pelaksanaan pembangunan infrastruktur publik di daerah melibatkan banyak instansi atau stakeholders. Setiap stakeholders memiliki hubungan interaksi dengan stakeholders lainnya. Semakin banyak jumlah stakeholders yang terlibat, maka semakin banyak hubungan yang harus menjadi perhatian. Hubungan antar organisasi, lembaga, atau pihak-pihak yang terlibat dalam pekerjaan pembangunan konstruksi terjadi pada satu titik kontak yang disebut interface.
Interfaces yang terjadi diantara penyelenggara infrastruktur publik di ruang milik jalan (konstruksi jalan, pipa-pipa air bersih, kabel-kabel listrik, dan fasilitas telekomunikasi) belum dikelola dengan baik, sehingga seringkali terjadi kerusakan infrastruktur ketika salah satu stakeholder melakukan aktifitasnya. Permasalahan yang terjadi di dalam interfaces disebut interface problems. Interface problems yang dibiarkan tanpa adanya koordinasi yang baik akan menyebabkan rendahnya produktifitas, rendahnya kualitas kerja, keterlambatan, tuntutan masyarakat, dan pembengkakan biaya tak terduga. Penelitian ini akan mengidentifikasi interface problems pada pelaksanaan pembangunan infrastruktur publik di ruang milik jalan (rumija) kota dan melakukan investigasi untuk mendapatkan solusi terhadap masalah interfaces di antara stakeholders utilitas dengan otoritas jalan, dan antara perusahaan utilitas dengan perusahaan utilitas yang lain.
Tujuan penelitian ini adalah membuat model koordinasi antar stakeholders yang dapat mendorong pemerintah daerah dan stakeholders utilitas untuk dapat berkomunikasi, melakukan koordinasi, dan berbagi tanggung jawab sehingga kerusakan infrastruktur dapat dikurangi. Penelitian ini dibatasi pada jalan eksisting kota-kota yang sudah lama; meliputi pekerjaan konstruksi jalan, penyediaan air bersih, penyediaan kelistrikan, dan fasilitas telekomunikasi; melibatkan penyelenggara infrastruktur jalan dan utilitas; selama masa operasi dan pemeliharaan jalan yang belum memiliki fasilitas bersama untuk utilitas; dan pada siklus proyek pembangunan daerah 1 tahun anggaran.
Subjek yang diteliti adalah Dinas PUPR Bina Marga, PDAM, PT PLN Persero, dan PT Telkom di kabupaten/kota di Indonesia. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam dan kuesioner. Metode analisis data menggunakan pendekatan kualitatif berdasarkan teori Interface Management (IM), model Soft System Methodology (SSM), Interpretive Structural Modeling (ISM), dan Integrated Definition (IDEFØ) technique untuk membangun model koordinasi antar stakeholders.
Penelitian ini dilakukan dalam empat tahap. Tahap I dilakukan identifikasi interfaces dan menghasilkan komponen interfaces di rumija yaitu stakeholders yang berkepentingan di rumija, pola interaksi antar stakeholders, dan masalah interfaces. Data diperoleh melalui wawancara mendalam dan penyebaran kuesioner di lima kota dan dua kota kabupaten yang tersebar di Indonesia, yaitu Kota Banda Aceh, Medan, Bandung, Pontianak, Surabaya, Kabupaten Aceh Timur dan Kabupaten Purbalingga.
Pada Tahap II yaitu dokumentasi interface, melakukan analisis data menggunakan Soft System Metodology (SSM) dengan 7 (tujuh) langkah, yaitu: deskripsi situasi masalah yang tidak terstruktur, membuat rich picture/helicopter view, menyusun pernyataan masalah/root definition dan elemen CATWOE, membuat model konseptual, membandingkan model konseptual dengan situasi real, melakukan perubahan yang sistematik, dan tindakan perbaikan terhadap sistem. Untuk Tahap II, kegiatan analisis sudah mencapai langkah kelima SSM yaitu membandingkan model konseptual dengan keadaan sebenarnya. Tahap ini menghasilkan model konseptual koordinasi pada inter-public project interfaces dan perubahan situasi masalah secara sistemik berupa elemen penguatan koordinasi dan organisasi/lembaga yang berpartisipasi di rumija. Kuesioner dianalisis untuk mendapatkan indeks keparahan masalah interface dengan menggunakan rumus Severity Index (SI). Dari 15 (lima belas) masalah interface yang teridentifikasi di rumija, faktor risiko dan biaya perbaikan menempati nilai keparahan tertinggi.
Penelitian Tahap III adalah langkah keenam SSM yaitu melakukan perubahan sistem dengan membuat model interaksi dan hirarki elemen penguatan koordinasi antar stakeholder dan organisasi/lembaga yang berpartisipasi dengan menggunakan metode Interpretive Structural Modeling (ISM). Data kuesioner ISM dilakukan pada satu daerah sebagai studi kasus, yaitu Kota Langsa, Provinsi Aceh. Hasil analisis berupa grafik interaksi dan hirarki elemen penguatan koordinasi dan organisasi/lembaga sistem koordinasi. Kedua struktur interaksi dan hirarki tersebut adalah bagian dari komponen koordinasi yang harus dimiliki oleh pemerintah daerah dalam upaya mengkoordinir stakeholders yang terlibat di rumija kota berdasarkan prioritas pengaruh dan kepentingan. Kombinasi kedua model interaksi dan hirarki membentuk sebuah paradigma baru yang menjelaskan bahwa seluruh stakeholders yang berkepentingan di rumija harus dapat melaksanakan peran dan tanggung jawab dengan baik di dalam sistem.
Penelitian Tahap IV adalah langkah ketujuh SSM yaitu melakukan tindakan perbaikan terhadap sistem. Pada tahap ini dilakukan tindakan dengan membangun Model Koordinasi dengan terlebih dahulu merancang framework koordinasi dengan menggunakan model IDEFØ. Framework koordinasi menghasilkan enam titik
kontak (interface) koordinasi yaitu diskusi program bidang/sinkronisasi program, pertemuan rutin, sistem database infrastruktur, mekanisme perizinan pekerjaan utilitas, pengawasan pekerjaan utilitas, dan mekanisme penyelesaian masalah. Titik kontak koordinasi adalah platform dimana pihak-pihak bertemu, berinteraksi, dan memiliki interdependensi di dalam sistem.
Model koordinasi stakeholders terdiri atas tiga bagian yaitu: pola interaksi antar stakeholders, enam titik kontak (interface) koordinasi sepanjang satu tahun anggaran pembangunan daerah kabupaten/kota, dan proses bisnis dan prosedur operasional pada masing-masing titik kontak (interface) pada sistem koordinasi. Model ini memperkaya mekanisme proses pembangunan yang selama ini berjalan di kabupaten/kota.
Kontribusi yang diharapkan adalah membantu pemerintah daerah kabupaten/kota mengembangkan sistem kordinasi dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur publik di rumija, serta meminimalisir dampak negatif akibat pekerjaan infrastruktur pada masa operasi dan pemeliharaan jalan dan utilitas.