Total cadangan nikel dunia diperkirakan bernilai 95 juta ton nikel dengan bijih nikel
laterit mewakili 60% dari deposit tersebut. Karena cadangan bijih nikel sulfida
semakin menipis, bijih nikel laterit dengan kandungan nikel rendah lambat laun
menjadi sumber daya utama nikel. Pada tahun 2022, sebanyak 72% produksi nikel
dunia berasal dari bijih nikel tipe oksida atau bijih laterit. Saat ini, proses
pirometalurgi utama untuk pengolahan bijih nikel laterit adalah proses rotary kilnelectric
furnace (RKEF). Emisi gas CO2 dihasilkan selama proses reduksi suhu
tinggi dari bijih laterit pada RKEF dengan batubara. Produksi 1 kg nikel akan
menghasilkan 69 kg emisi CO2. Salah satu solusi untuk menurunkan emisi CO2
secara signifikan adalah substitusi batubara dengan reduktor alternatif, seperti gas
hidrogen dan biomassa dalam penggunaan teknologi RKEF. Hidrogen dapat
menjadi reduktor alternatif, namun penggunaanya belum umum untuk produksi
logam saat ini. Biomassa yang memiliki potensi tinggi di Indonesia adalah byproduct
dari industri kelapa sawit. Cangkang kelapa sawit atau palm kernel shell
(PKS) merupakan produk limbah yang diperoleh setelah pengolahan kelapa sawit
sawit. Industri kelapa sawit menghasilkan sekitar 4,6 juta ton PKS per tahun
sehingga PKS memiliki potensi untuk menggantikan batubara sebagai reduktor
bijih nikel laterit. Penelitian ini bertujuan untuk menyimulasikan dan melakukan
percobaan skala laboratorium terhadap penggunaan gas hidrogen dan biomassa
PKS sebagai reduktor bijih nikel saprolit melalui jalur RKEF dalam rangka
mengembangkan proses produksi paduan feronikel dengan emisi CO2 rendah.
Bijih nikel laterit yang digunakan dalam penelitian berupa bijih nikel saprolit. Bijih
nikel saprolit basah dikeringkan dalam oven pada suhu 200? selama 24 jam lalu
dihancurkan dua kali dengan roll crusher untuk mendapatkan bijih nikel saprolit
halus dan diayak menggunakan vibrating sieve shaker. Bijih nikel saprolit dengan
ukuran -60 +100 mesh digunakan dalam percobaan, sedangkan bijih nikel +200
mesh digunakan untuk karakterisasi yang meliputi X-ray Diffraction (XRD), X-ray
Fluorescence (XRF), dan beberapa analisis basah. Kalsinasi dan reduksi bijih nikel
saprolit dilakukan menggunakan gas hidrogen (99,995% H2) dalam horizontal tube
furnace (HTF) dengan memvariasikan suhu kalsinasi (500-900?), waktu kalsinasi
ii
(0,25-3 jam), dan persentase gas hidrogen dalam campuran hidrogen dan gas argon
(25 dan 75% H2) untuk menyimulasikan proses pada rotary kiln. Kalsinasi dengan
reduktor berbasis karbon berupa batubara dan PKS dilakukan untuk
membandingkan hasil produk dengan reduksi menggunakan gas hidrogen yang
dilakukan pada suhu 800? selama 3 jam dengan memvariasikan stoikiometri
masing-masing reduktor sebesar 1, 1,5, dan 2. Kalsin padat hasil percobaan di HTF
kemudian dilebur dalam vertical tube furnace (VTF) pada suhu 1550? selama 2
jam untuk menyimulasikan proses pada tanur listrik. Produk reduksi padat yang
dihasilkan setelah proses kalsinasi dan reduksi dalam HTF dianalisis menggunakan
ICP-MS Agilent 7800, XRD Rigaku SmartLab, dan SEM-EDS JEOL NeoScope
JCM-7000, sedangkan produk peleburan di VTF dianalisis menggunakan
mikroskop optik dan SEM-EDS JEOL NeoScope JCM-7000.
Peningkatan temperatur kalsinasi dapat meningkatkan pengurangan berat bijih
nikel saprolit yang menandakan makin banyak oksida logam tereduksi, terutama
oksida besi dan nikel. Waktu kalsinasi memiliki pengaruh tidak signifikan pada
tingkat reaksi karena pengurangan berat setelah kalsinasi yang cenderung stabil
pada seluruh variasi waktu. Berdasarkan hasil analisis SEM-EDS pada kalsin, kadar
besi, silikon, dan krom sedikit meningkat yang diikuti penurunan kadar nikel seiring
peningkatan temperatur kalsinasi yang menunjukkan lingkungan yang lebih
reduktif pada suhu tinggi. Fasa-fasa oksida yang terbentuk pada kalsin sesuai
dengan prediksi FactSage dan hasil XRD dimana fasa oksida meliputi pyroxene,
olivine, dan spinel, sedangkan fasa logam terbagi menjadi dua yakni logam besi dan
paduan feronikel. Pada produk peleburan kalsin, kadar besi relatif stabil seiring
peningkatan temperatur kalsinasi dan terdapat penurunan mulai temperatur 800 dan
700? pada persentase gas hidrogen secara berturut-turut 25 dan 75% H2/Ar akibat
terdilusi oleh oksida unsur lain yang juga banyak tereduksi pada parameter ini,
yakni Si dan Cr. Parameter percobaan pada 700? dengan 25% H2 menghasilkan
kadar nikel pada logam tertinggi, sebesar 10,21% dengan kadar besi 85,37%.
Penggunaan batubara dan PKS sebagai reduktor berbasis karbon menunjukkan
adanya peningkatan pengurangan berat dari bijih nikel saprolit seiring
bertambahnya stoikiometri. PKS menghasilkan nilai pengurangan berat yang
signifikan pada stoikiometri 1,5 dan 2 jika dibandingkan dengan batubara yang
menandakan reduktor ini jauh lebih reduktif apabila diberikan berlebih. Hasil
reduksi dengan 25% H2 memiliki komposisi produk yang serupa dengan
penggunaan 2 stoikiometri batubara, sedangkan hasil reduksi dengan 75% H2
memiliki komposisi serupa dengan penggunaan 1,5 dan 2 stoikiometri biomassa
PKS sebagai reduktor. Gas hidrogen dan biomassa PKS menunjukkan
kemungkinan untuk dijadikan reduktor alternatif pada proses peleburan bijih nikel
saprolit karena menghasilkan produk logam dengan komposisi serupa dengan
paduan feronikel yang diproduksi secara komersial menggunakan batubara.