digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Bima Satritama
PUBLIC Resti Andriani

BAB 1 Bima Satritama
PUBLIC Resti Andriani

BAB 2 Bima Satritama
PUBLIC Resti Andriani

BAB 3 Bima Satritama
PUBLIC Resti Andriani

BAB 4 Bima Satritama
PUBLIC Resti Andriani

BAB 5 Bima Satritama
PUBLIC Resti Andriani

PUSTAKA Bima Satritama
PUBLIC Resti Andriani

Total cadangan nikel dunia diperkirakan bernilai 95 juta ton nikel dengan bijih nikel laterit mewakili 60% dari deposit tersebut. Karena cadangan bijih nikel sulfida semakin menipis, bijih nikel laterit dengan kandungan nikel rendah lambat laun menjadi sumber daya utama nikel. Pada tahun 2022, sebanyak 72% produksi nikel dunia berasal dari bijih nikel tipe oksida atau bijih laterit. Saat ini, proses pirometalurgi utama untuk pengolahan bijih nikel laterit adalah proses rotary kilnelectric furnace (RKEF). Emisi gas CO2 dihasilkan selama proses reduksi suhu tinggi dari bijih laterit pada RKEF dengan batubara. Produksi 1 kg nikel akan menghasilkan 69 kg emisi CO2. Salah satu solusi untuk menurunkan emisi CO2 secara signifikan adalah substitusi batubara dengan reduktor alternatif, seperti gas hidrogen dan biomassa dalam penggunaan teknologi RKEF. Hidrogen dapat menjadi reduktor alternatif, namun penggunaanya belum umum untuk produksi logam saat ini. Biomassa yang memiliki potensi tinggi di Indonesia adalah byproduct dari industri kelapa sawit. Cangkang kelapa sawit atau palm kernel shell (PKS) merupakan produk limbah yang diperoleh setelah pengolahan kelapa sawit sawit. Industri kelapa sawit menghasilkan sekitar 4,6 juta ton PKS per tahun sehingga PKS memiliki potensi untuk menggantikan batubara sebagai reduktor bijih nikel laterit. Penelitian ini bertujuan untuk menyimulasikan dan melakukan percobaan skala laboratorium terhadap penggunaan gas hidrogen dan biomassa PKS sebagai reduktor bijih nikel saprolit melalui jalur RKEF dalam rangka mengembangkan proses produksi paduan feronikel dengan emisi CO2 rendah. Bijih nikel laterit yang digunakan dalam penelitian berupa bijih nikel saprolit. Bijih nikel saprolit basah dikeringkan dalam oven pada suhu 200? selama 24 jam lalu dihancurkan dua kali dengan roll crusher untuk mendapatkan bijih nikel saprolit halus dan diayak menggunakan vibrating sieve shaker. Bijih nikel saprolit dengan ukuran -60 +100 mesh digunakan dalam percobaan, sedangkan bijih nikel +200 mesh digunakan untuk karakterisasi yang meliputi X-ray Diffraction (XRD), X-ray Fluorescence (XRF), dan beberapa analisis basah. Kalsinasi dan reduksi bijih nikel saprolit dilakukan menggunakan gas hidrogen (99,995% H2) dalam horizontal tube furnace (HTF) dengan memvariasikan suhu kalsinasi (500-900?), waktu kalsinasi ii (0,25-3 jam), dan persentase gas hidrogen dalam campuran hidrogen dan gas argon (25 dan 75% H2) untuk menyimulasikan proses pada rotary kiln. Kalsinasi dengan reduktor berbasis karbon berupa batubara dan PKS dilakukan untuk membandingkan hasil produk dengan reduksi menggunakan gas hidrogen yang dilakukan pada suhu 800? selama 3 jam dengan memvariasikan stoikiometri masing-masing reduktor sebesar 1, 1,5, dan 2. Kalsin padat hasil percobaan di HTF kemudian dilebur dalam vertical tube furnace (VTF) pada suhu 1550? selama 2 jam untuk menyimulasikan proses pada tanur listrik. Produk reduksi padat yang dihasilkan setelah proses kalsinasi dan reduksi dalam HTF dianalisis menggunakan ICP-MS Agilent 7800, XRD Rigaku SmartLab, dan SEM-EDS JEOL NeoScope JCM-7000, sedangkan produk peleburan di VTF dianalisis menggunakan mikroskop optik dan SEM-EDS JEOL NeoScope JCM-7000. Peningkatan temperatur kalsinasi dapat meningkatkan pengurangan berat bijih nikel saprolit yang menandakan makin banyak oksida logam tereduksi, terutama oksida besi dan nikel. Waktu kalsinasi memiliki pengaruh tidak signifikan pada tingkat reaksi karena pengurangan berat setelah kalsinasi yang cenderung stabil pada seluruh variasi waktu. Berdasarkan hasil analisis SEM-EDS pada kalsin, kadar besi, silikon, dan krom sedikit meningkat yang diikuti penurunan kadar nikel seiring peningkatan temperatur kalsinasi yang menunjukkan lingkungan yang lebih reduktif pada suhu tinggi. Fasa-fasa oksida yang terbentuk pada kalsin sesuai dengan prediksi FactSage dan hasil XRD dimana fasa oksida meliputi pyroxene, olivine, dan spinel, sedangkan fasa logam terbagi menjadi dua yakni logam besi dan paduan feronikel. Pada produk peleburan kalsin, kadar besi relatif stabil seiring peningkatan temperatur kalsinasi dan terdapat penurunan mulai temperatur 800 dan 700? pada persentase gas hidrogen secara berturut-turut 25 dan 75% H2/Ar akibat terdilusi oleh oksida unsur lain yang juga banyak tereduksi pada parameter ini, yakni Si dan Cr. Parameter percobaan pada 700? dengan 25% H2 menghasilkan kadar nikel pada logam tertinggi, sebesar 10,21% dengan kadar besi 85,37%. Penggunaan batubara dan PKS sebagai reduktor berbasis karbon menunjukkan adanya peningkatan pengurangan berat dari bijih nikel saprolit seiring bertambahnya stoikiometri. PKS menghasilkan nilai pengurangan berat yang signifikan pada stoikiometri 1,5 dan 2 jika dibandingkan dengan batubara yang menandakan reduktor ini jauh lebih reduktif apabila diberikan berlebih. Hasil reduksi dengan 25% H2 memiliki komposisi produk yang serupa dengan penggunaan 2 stoikiometri batubara, sedangkan hasil reduksi dengan 75% H2 memiliki komposisi serupa dengan penggunaan 1,5 dan 2 stoikiometri biomassa PKS sebagai reduktor. Gas hidrogen dan biomassa PKS menunjukkan kemungkinan untuk dijadikan reduktor alternatif pada proses peleburan bijih nikel saprolit karena menghasilkan produk logam dengan komposisi serupa dengan paduan feronikel yang diproduksi secara komersial menggunakan batubara.