digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Tasia Amelia
PUBLIC yana mulyana

COVER Tasia Amelia
PUBLIC yana mulyana

BAB 1 Tasia Amelia
PUBLIC yana mulyana

BAB 2 Tasia Amelia
PUBLIC yana mulyana

BAB 3 Tasia Amelia
PUBLIC yana mulyana

BAB 4 Tasia Amelia
PUBLIC yana mulyana

BAB 5 Tasia Amelia
PUBLIC yana mulyana

BAB 6 Tasia Amelia
PUBLIC yana mulyana

BAB 7 Tasia Amelia
PUBLIC yana mulyana

PUSTAKA Tasia Amelia
PUBLIC yana mulyana

Kanker paru merupakan kanker dengan prevalensi tertinggi dibandingkan dengan kanker lainnya, dan angka kejadian serta kematian akibat kanker paru terus meningkat setiap tahunnya hingga mencapai berturut-turut 2,2 juta dan 1,8 juta kasus kanker paru baru dan kematian pada tahun 2020. Sebanyak 85% dari kejadian kanker tersebut merupakan kanker jenis Non-Small Cell Lung Cancer (NSCLC) dan mayoritas terdiagnosis pada stadium lanjut, sehingga tingkat keberlangsungan hidup pasien NSCLC sampai saat ini masih sangat rendah. Studi epidemiologi yang dilakukan oleh program Surveillance, Epidemiology, and End Result (SEER) menunjukkan hanya 17,4% pasien kanker paru yang dapat bertahan sampai 5 tahun atau lebih. Terapi konvensional berupa pemberian inhibitor reseptor Epidermal Growth Factor (EGFR), reseptor yang diekspresikan berlebih pada NSCLC, telah digunakan secara klinis, namun belum berdampak signifikan terhadap peningkatan keberlangsungan hidup pasien. Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya efektifitas inhibitor tirosin kinase yang digunakan pada pengobatan akibat kejadian resistensi pasien dengan EGFR Tyrosine Kinase Domain (EGFR-TK) yang termutasi, terutama pada ekson 19 dan 21. Kejadian resistensi ini menjadi urgensi pada pengembangan inhibitor tirosin kinase baru dengan efektivitas yang lebih baik pada reseptor alami serta termutasi sehingga dapat menggantikan inhibitor sebelumnya dan meningkatkan keberhasilan pengobatan pasien kanker paru. Penggunaan senyawa dengan cincin heterosiklik non quinazoline diharapkan dapat menanggulangi permasalahan inhibitor quinazoline dalam berinteraksi pada reseptor termutasi, menginhibisi EGFR-TK, menghambat proliferasi dan pertumbuhan sel, dan merangsang apoptosis sel kanker. Senyawa kafein diketahui dapat menginhibisi reseptor estrogen yang memiliki kemiripan struktur dengan EGFR, sehingga pengembangan senyawa dengan inti xantin ini berpotensi untuk memberikan aktivitas penghambatan terhadap reseptor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji interaksi senyawa xantin untuk memperoleh kandidat senyawa yang potensial sebagai inhibitor EGFR-TK bentuk alami secara in silico yang dilanjutkan dengan pengujian secara in vitro untuk memperoleh data IC50 dari senyawa kandidat pada sel kanker paru, memperoleh informasi interaksi senyawa kandidat pada EGFR-TK dengan mutasi yang umum dijumpai secara in silico, dan memperoleh metode untuk memprediksi mutasi baruyang dapat menyebabkan resistensi pada inhibitor tirosin kinase yang telah digunakan secara klinis. Penelitian dilakukan dengan tahapan awal berupa pemilihan molekul dengan inti xantin yang berpotensi menjadi inhibitor EGFR-TK dengan metode in silico. Sebanyak 40 senyawa turunan xantin digunakan pada studi ini. Studi interaksi dilakukan terhadap EGFR-TK tipe alami dengan pembanding berupa senyawa-senyawa inhibitor EGFR-TK yang telah digunakan secara klinis, yaitu gefitinib, erlotinib, dan afatinib. Dari studi tersebut, diketahui bahwa senyawa 8, 12, 17, 20, dan 37 memiliki afinitas paling baik dengan energi bebas ikatan paling negatif dan tipe interaksi kimia paling banyak dibandingkan senyawa lainnya, dimana senyawa 20 merupakan senyawa yang dirancang berdasarkan senyawa 12. Senyawa 8, 17, dan 37 berinteraksi dengan sisi pengikatan ATP dengan interaksi kimia utama berupa ikatan hidrogen dengan Met793, sedangkan senyawa 12 dan 20 berikatan pada sisi alosterik reseptor melalui ikatan hidrogen dengan Asp855 seperti EAI001. Hasil penelitian ini dikonfirmasi dengan pengujian sitotoksisitas secara in vitro terhadap sel kanker paru A549 untuk memperoleh nilai IC50 dari beberapa senyawa uji. Senyawa 17 menunjukkan hasil terbaik dengan nilai IC50 sebesar 317,7 ?M, 2,4 kali lebih besar dibandingkan dengan gefitinib sebagai senyawa pembanding. Senyawa 8, 37, dan 38 secara berturut-turut menunjukkan nilai IC50 sebesar 447,6, 1.763, dan 2.446 ?M. Studi interaksi berikutnya dilakukan terhadap EGFR-TK termutasi yang lazim ditemukan pada pasien kanker paru (L858R/T790M/C797S). Ketiga pembanding menunjukkan kemampuan pengikatan yang baik, dan senyawa 8, 12, 17, dan 20, kembali memberikan hasil yang terbaik dengan perubahan nilai energi bebas ikatan yang lebih negatif dibandingkan terhadap EGFR-TK alami dan mode pengikatan yang mirip dengan senyawa pembanding. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keempat senyawa tersebut merupakan senyawa yang potensial untuk digunakan sebagai kandidat inhibitor EGFR-TK baik bentuk alami maupun termutasi. Studi prediksi mutasi juga dilakukan untuk mengetahui mutasi residu daerah sisi pengikatan EGFR-TK yang berpotensi menyebabkan resistensi terhadap inihibitor yang telah digunakan secara klinis dengan menggunakan simulasi dinamika molekular selama 200 ns. Pada studi tersebut digunakan dua jenis ligan, yaitu ATP sebagai ligan alami EGFR-TK dan erlotinib sebagai inhibitor enzim tersebut. Hasil studi menunjukkan bahwa substitusi pada Gly779, Glu791, Ile853, dan Asp855 dengan alanin dapat meningkatkan afinitas ATP terhadap reseptor serta melemahkan kemampuan erlotinib untuk berikatan. Selain itu, substitusi Glu762, yang merupakan asam amino pembentuk jembatan garam dengan Lys745, dengan alanin dapat menghilangkan kemampuan ATP untuk berikatan dengan reseptor tersebut sehingga kemungkinan dapat berdampak terjadinya deaktivasi reseptor.