Indonesia merupakan negara yang memiliki fenomena pasut yang sangat kompleks yang disebabkan oleh banyaknya pulau kecil, selat yang sempit, dasar laut yang kasar dan adanya sirkulasi dari samudra. Saat ini, setidaknya baru terdapat 159 stasiun pasut di seluruh Indonesia. Terlebih lagi ada beberapa wilayah di Indonesia yang memiliki stasiun pasut yang sangat sedikit seperti di selatan Kalimantan dan selatan Papua sehingga karakteristik pasut tidak dapat dilihat secara langsung pada wilayah tersebut. Lowest Astronomical Tide (LAT) adalah kondisi pasut dalam keadaan terendah yang diprediksikan akibat kombinasi dari kondisi astronomis selama 19 tahun. Secara praktis, kedudukan LAT tidak dapat ditentukan dari pengamatan pasut dikarenakan membutuhkan waktu yang sangat lama. Oleh karena itu, untuk menghitung nilai LAT dengan memprediksi selama 19 tahun melalui konstanta harmonik pasut dengan data pengamatan minimal satu tahun. Namun, metode ini hanya dapat digunakan untuk menghitung nilai LAT di satu titik saja yakni di lokasi stasiun pasut berada sehingga dibutuhkan pendekatan lain untuk memperoleh nilai LAT di seluruh wilayah Indonesia salah satunya dengan pemodelan. Saat ini setidaknya ada beberapa contoh model pasut global yang diperoleh dari beberapa metode antara lain metode empirik dengan menggunakan hasil dari pengamatan satelit altimetri, metode pemodelan hidrodinamika dengan melakukan pemodelan numeris pada perairan tertentu dan metode asimilasi yakni dengan penggabungan hasil dari satelit altimetri, model hidrodinamika dan pengamatan di stasiun pasut.
Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan Peta LAT Indonesia berdasarkan model pasut global dan mengetahui model pasut global yang paling cocok digunakan untuk perairan Indonesia. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan Peta LAT Indonesia yang dapat digunakan untuk keperluan praktis pada survei hidrografi dan untuk penentuan datum pasut untuk pemetaan di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan setidaknya lima model pasut antara lain DTU10, HAMTIDE, FES2014, dan TPXO9 v5. Dari model pasut global tersebut diperoleh nilai amplitudo dan fase dari konstanta pasut. Berdasarkan data tersebut dilakukan prediksi selama 19 tahun dengan metode least square untuk memperoleh nilai tinggi muka air laut terendah yang ditetapkan sebagai nilai LAT. Kemudian dilakukan perbandingan nilai LAT dari stasiun pasut yang tersebar di perairan Indonesia dengan nilai LAT yang dihasilkan dari model pasut global tersebut. Perbandingan dilakukan untuk mengetahui nilai deviasi dari model pasut global di seluruh perairan Indonesia. Selain itu, dilakukan penghitungan nilai Root Mean Square Error (RMSE) sebagai pendekatan untuk mengetahui model yang paling cocok digunakan di perairan Indonesia.
Hasil Peta LAT Indonesia pada model DTU10, EOT20, HAMTIDE, FES2014, dan TPXO9 v5 menghasilkan peta dengan pola yang relatif sama pada bagian laut terbuka sedangkan pada perairan sempit dan tertutup menghasilkan nilai yang berbeda. Hal ini dikarenakan data yang digunakan untuk melakukan analisis pasang surut pada wilayah model pasut global yang digunakan baik dengan metode empirik maupun asimilasi berasal dari satelit altimetri sehingga memiliki kualitas yang tidak sebaik di laut terbuka.. Pada hasil penghitungan nilai RMSE yang terbaik berasal dari model pasut TPXO9 dengan nilai 0,078 untuk model lain yakni EOT20, FES2014, DTU10, dan HAMTIDE secara berurutan memiliki nilai RMSE sebesar 0,090; 0,087; 0,090; dan 0,095. Namun, hasil tersebut masih dapat dikatakan sebanding mengingat bahwa TPXO9 memiliki resolusi yang paling tinggi dibandingkan dengan model pasut lainnya.