digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Tuberculosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (Mtb), pada umumnya menyerang sistem pernapasan. Tuberculosis dikategorikan sebagai salah satu penyakit tropis dan mendapatkan perhatian khusus dari berbagai Lembaga Kesehatan karena tingginya angka penderita dan dampak penyakit yang membahayakan. Penanganan tuberculosis melibatkan berbagai strategi salah satunya pengembangan teknologi deteksi cepat. Biosensor berbasis surface plasmon resonance (SPR) merupakan metode deteksi yang menjanjikan karena memiliki fitur deteksi real-time dengan performa yang bersaing dengan berbagai metode konvensional lain. Biosensor SPR dapat dimodifikasi dengan menambahkan lapisan material pada permukaan film tipis emas (Au) yang kemudian berfungsi sebagai matriks imobilisasi bioreseptor dan untuk meningkatkan aktivitas plasmon permukaan. Logam transisi dikalkogenida merupakan salah satu kelompok material 2D yang memiliki permukaan yang luas, efisiensi penyerapan optik tinggi, dan stabil sehingga tidak mengganggu reaksi biokimia di sekitarnya. Oleh karena itu, material ini berpotensi sebagai pemodifikasi biosensor SPR yang mampu meningkatkan performa deteksi secara signifikan. Pada penelitian ini, biosensor SPR dimodifikasi menggunakan salah satu jenis material logam transisi dikalkogenida yaitu molybdenum disulfide (MoS2) untuk deteksi protein CFP-10 Mtb. Protein CFP-10 dipilih karena merupakan protein sekretorik awal Mtb dan tidak ditemukan pada Mycobacterium jenis lain. MoS2 disintesis melalui metode hidrotermal untuk memperoleh morfologi flower-like dengan ukuran partikel yang kecil sehingga dapat menyediakan situs imobilisasi yang melimpah. Modifikasi MoS2 dilakukan dengan memvariasikan pH (6, 7, dan 8) dan konsentrasi trisodium citrate (0,125; 0,25; 0,5 g). Trisodium citrate (Na3Ct) berfungsi sebagai agen pereduksi dalam sintesis, sehingga diharapkan dapat memperkecil ukuran partikel. Berdasarkan hasil XRD, baik pH maupun Na3Ct berpengaruh terhadap intensitas puncak difraksi yang mengindikasikan kristalinitas MoS2. Sedangkan berdasarkan hasil SEM, pengaruh pH tidak terlihat secara signifikan, namun terjadi perubahan ukuran partikel yang cukup jelas dari variasi Na3Ct. Diperoleh flower-like MoS2 dengan ukuran partikel terkecil yaitu ~500 – 600 nm dari sintesis pada pH 7 dengan 0,5 g Na3Ct. Produk sintesis tersebut kemudian digunakan dalam pengujian SPR dengan dideposisikan pada chip Au dengan variasi deposition cycle (6L, 9L, 12L, dan 15L) untuk melihat pengaruh ketebalan terhadap performa deteksi. Chip Au yang telah difungsionalisasi dengan berbagai gugus aktif dan antibodi CFP-10 diujikan untuk mendeteksi protein CFP-10 dengan variasi konsentrasi 62,5; 100; 125; 250; dan 500 ng/mL. Setiap chip menunjukkan respon deteksi berupa peningkatan perubahan respon unit (?RU) seiring dengan peningkatan konsentrasi analit. Peningkatan deposition cycle juga meningkatkan sensitivitas biosensor pada chip 6L – 12L, namun kemudian mengalami penurunan kembali pada chip 15L. Performa deteksi terbaik yang dihasilkan dari penelitian ini ditunjukkan oleh chip Au/MoS2/CFP-10Ab 12L dengan sensitivitas dan limit-of-detection (LOD) masing-masing -1,0059 dan 3,45 ng/mL. Jika dibandingkan LOD dengan chip bare Au/CFP-10Ab yaitu 7,66 ng/mL, Au/MoS2/CFP-10Ab 12L memberikan performa setidaknya ~45% lebih baik. Biosensor ini juga memiliki selektivitas dan keseragaman yang baik berdasarkan pengujian pada berbagai jenis analit dan pengukuran berulang pada 6 chip yang berbeda. Dari penelitian ini, telah dibuktikan bahwa MoS2 dapat meningkatkan performa biosensor SPR secara signifikan. Oleh karena itu, biosensor SPR berbasis Au/MoS2/CFP-10Ab ini berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut agar dapat diaplikasikan secara nyata sebagai teknologi deteksi protein CFP-10 Mtb dalam monitoring dan diagnosa penyakit tuberculosis.