
2022 TA PP ZEFANYA AMETHYSSA SILVA 1.pdf
]
Terbatas  Noor Pujiati.,S.Sos
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas  Noor Pujiati.,S.Sos
» Gedung UPT Perpustakaan
Biennale diambil dari Bahasa Italia yang berarti ‘setiap dua tahun’. Saat ini, kata ‘Biennale’ lebih
umum digunakan untuk merujuk pada pameran seni kontemporer internasional yang berskala besar
dan diadakan di berbagai kota di seluruh dunia. Di Indonesia, bienal yang rutin dilaksanakan ada
di dua kota yakni Jakarta dan Yogyakarta. Biennale Jakarta adalah bienal pertama yang
terselenggara di Indonesia, tepatnya pada tahun 1974. Kemudian, Biennale Jogja baru muncul di
tahun 1983 dengan judul ‘Pameran Seni Lukis Yogyakarta’ dan baru menggunakan nama
‘Biennale Seni Lukis Yogyakarta’ di tahun 1988.
Penelitian ini bertujuan untuk memahami dinamika distribusi dan resepsi Biennale Jogja melalui
tulisan kuratorial dan ulasan media massa. Bienal yang dipilih menjadi sampel dalam penelitian
ini adalah Biennale Yogyakarta I 1988 – IX 2007. Metode yang digunakan adalah Studi Arsip
serta Analisis Wacana Kritis (AWK) Norman Fairclough untuk menganalisis teks. Teori seni yang
digunakan adalah Teori Medan Seni Rupa Hans Van Maanen untuk memahami medan seni
terutama ranah distribusi dan resepsi. Pada penelitian ini, ditemukan bahwa Biennale Jogja
mengalami perkembangan dan penyesuaian mengikuti periodisasi seni rupa Indonesia. Hal ini
dipicu oleh tujuan awal Biennale Jogja yang ingin menampilkan kecenderungan mutakhir di
medan seni rupa Yogyakarta, dan nantinya Indonesia. Oleh karenanya, nilai estetis dan ideologis
yang ingin disampaikan pelaksana pun berbeda tiap serinya, mengikuti semangat zaman yang
ditunjukkan oleh pelaku seni saat itu.
Pada segi resepsi, Biennale Jogja tidak selalu berhasil menyampaikan nilai ideologisnya melalui
seniman dan karya yang dipilih. Dinamika resepsi ini didapatkan melalui analisis terhadap
berbagai ulasan yang ada di media massa. Pada bienal-bienal yang menunjukkan perubahan atau
perkembangan terbaru, publik tampak memberikan respon positif. Sebaliknya, pada bienal-bienal
yang terkesan stagnan, publik lebih banyak memberikan kritik atau gugatan, baik terkait segi teknis
pelaksanaan maupun gagasan yang diusung oleh tim pelaksana.