Pada tahun 2015 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadakan konvensi yang
diikuti oleh 196 negara termasuk Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, yang
disebut dengan Paris Agreement. Hasil konvensi memperkirakan bahwa emisi CO2 harus
dikurangi sebesar 3,5% setiap tahunnya hingga tahun 2050. Perkembangan teknologi serta
kebijakan terkait PLTS telah menciptakan pasar yang sangat besar di Indonesia. Target 1
GW PLTS atap, baik menggunakan konsep Building-Integrated Photovoltaic (BIPV)
maupun Building-Applied Photovoltaic (BAPV) sangat menarik. Proposal ini
menunjukkan bahwa pada bangunan pabrik yang menggunakan konsep BIPV akan lebih
hemat dan lebih menguntungkan dibandingkan menggunakan konsep BAPV karena bisa
memaksimalkan ruang yang ada. Hasilnya sistem BIPV menghasilkan energi sebesar
1.237,04 MWh sedangkan sistem BAPV hanya menghasilkan energi sebesar 832,80 MWh
pada tahun pertama. Dari sisi finansial, sistem BIPV membutuhkan capital expenditure
(CAPEX) 14,09% lebih besar dibanding dengan sistem BAPV. Tetapi sistem BIPV
memiliki waktu balik modal 3,04 tahun lebih cepat dan memiliki kumulatif pendapatan
selama 25 tahun umur sistem 81,84% lebih besar dari sistem BAPV. Dari segi reduksi jejak
karbon, sistem BIPV mampu mereduksi 23.175 ton CO2, sedangkan untuk sistem BAPV
hanya sebesar 15.602 ton CO2.