digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

COVER Eko Agung Wibowo
PUBLIC sarnya

BAB_1 Eko Agung Wibowo
PUBLIC sarnya

BAB_2 Eko Agung Wibowo
PUBLIC sarnya

BAB_3 Eko Agung Wibowo
PUBLIC sarnya

BAB_4 Eko Agung Wibowo
PUBLIC sarnya

BAB_5 Eko Agung Wibowo
PUBLIC sarnya

BAB_6 Eko Agung Wibowo
PUBLIC sarnya

DAFTAR Eko Agung Wibowo
PUBLIC sarnya

2022_TS_PP_EKO_AGUNG_WIBOWO_LAMPIRAN.pdf ]
Terbatas  sarnya
» Gedung UPT Perpustakaan

Pasca lebih dari dua dekade implementasi big bang of decentralization di Indonesia dibutuhkan evaluasi dampak kebijakan secara komprehensif, termasuk dampak dari desentralisasi fiskal terhadap kinerja pembangunan. Desentralisasi fiskal seyogyanya dapat menjamin pemenuhan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, namun di sisi lain kebijakan ini juga dapat menciptakan ketimpangan pembangunan antardaerah. Beranjak dari urgensi tersebut, penelitian bertujuan menelaah dampak dari desentralisasi fiskal terhadap kinerja pembangunan daerah di bidang pembangunan manusia, ekonomi, dan sosial. Parameter yang dipergunakan untuk masing-masing aspek yakni Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) untuk pembangunan manusia; Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk perekonomian; dan tingkat kemiskinan untuk bidang sosial. Sementara pengukuran atas desentralisasi fiskal menggunakan 4 macam indikator yakni: (1) Proxy kemandirian menghasilkan pendapatan (tanpa dana transfer pusat ke daerah), dibandingkan total pendapatan daerah tersebut; (2) Proxy kemandirian daerah menghasilkan pendapatan, dengan mempertimbangkan potensi kemampuan daerah (nilai Dana Bagi Hasil/DBH), dibandingkan total pendapatan daerah tersebut; (3) Proxy kemandirian daerah menghasilkan pendapatan (tanpa dana transfer), dibandingkan total belanja daerah tersebut; dan (4) Proxy kemandirian suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan, dengan mempertimbangkan potensi kemampuan daerah (DBH), dibandingkan total belanja daerah tersebut. Penelitian menggunakan data panel dari 476 kabupaten/kota dari 34 provinsi di Indonesia dalam kurun waktu 2010–2018, setelah mengeluarkan daerah-daerah yang berkenaan dengan pemekaran daerah (daerah induk maupun daerah pemekaran). Variabel yang berkaitan dengan kondisi infrastruktur dasar serta sosial–ekonomi juga dipergunakan sebagai variabel kontrol seperti akses terhadap air bersih, kepadatan penduduk, belanja daerah (dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah/APBD) untuk fungsi pendidikan, pengeluaran pendidikan rumah tangga per-kapita per-bulan, rasio pekerja terhadap jumlah penduduk dan rasio pengangguran terhadap angkatan kerja. Selain dari tingkat nasional, analisis juga dilakukan berbasis regional, yakni dengan mengklasifikasikan daerah menjadi Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Tujuannya adalah untuk melihat pengaruh dari karakteristik wilayah. Pembaruan dari ii penelitian terhadap penelitian sebelumnya antara lain tingkat kedalaman analisis data (hingga kabupaten/kota) dengan rentang waktu cukup panjang (2010 – 2018), serta mengukur dampak yang bersifat multidimensi (tidak hanya satu dimensi namun juga meliputi pembangunan manusia, ekonomi, dan sosial). Hasil estimasi analisis data panel dengan fixed effect model menunjukkan beberapa temuan penting. Pertama, secara umum terdapat pengaruh/hubungan positif antara desentralisasi fiskal dengan pembangunan sumber daya manusia (SDM) dengan parameter Rata-rata Lama Sekolah (RLS). Kedua, terdapat pengaruh/hubungan positif antara desentralisasi fiskal dengan pembangunan ekonomi dengan parameter Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku. Ketiga, secara umum terdapat pengaruh/hubungan negatif antara desentralisasi fiskal dengan pembangunan sosial dengan parameter tingkat kemiskinan, meskipun hasil regresi untuk KTI tidak sesuai dengan hipotesis penelitian. Keempat, temuan klasifikasi daerah di wilayah KTI di beberapa indikator desentralisasi fiskal menunjukkan hasil yang tidak konsisten dengan hipotesis (perbedaan arah dan signifikansi) yang mengindikasikan karakteristik daerah sangat berpengaruh terhadap dampak desentralisasi fiskal. Kelima, faktor-faktor sosial-ekonomi seperti ketersediaan infrastruktur dasar (diantaranya air bersih), kepadatan penduduk, dan struktur kependudukan (diantaranya pekerja dan pengangguran) memiliki peran krusial terhadap program pembangunan daerah, seperti program pendidikan, ekonomi, dan pengurangan kemiskinan. Pola belanja daerah dan rumah tangga juga strategis dalam menentukan tujuan dan keberhasilan pembangunan daerah. Tingkat kesenjangan antar wilayah, kapasitas institusional (kapasitas pemerintah daerah dalam perencanaan, penganggaran), serta kondisi geografis dan demografis juga patut dipertimbangkan. Namun, keterbatasan data menyebabkan tidak dapat dilakukan analisa mendalam untuk mengelaborasi temuan. Rekomendasi kebijkan sebagai implikasi dari temuan antara lain meliputi urgensi penguatan kebijakan desentralisasi fiskal yang saat ini berlaku dengan mengarahkan kepada peningkatan kemandirian fiskal daerah (melalui optimalisasi potensi penerimaan daerah seperti dengan local taxing power), peningkatan kualitas belanja daerah, penyempurnaan desain transfer ke daerah agar lebih spesifik peruntukannya, hingga penguatan fungsi pengendalian dan pengawasan. Kebijakan desentralisasi asimetris juga menjadi penting guna mengatasi ketimpangan pembangunan daerah terutama antara KBI dan KTI. Kebijakan-kebijakan tersebut harus dituangkan tidak hanya melalui payung hukum namun juga program/kegiatan spesifik.