2007 TA PP IVAN KURNIADI 1-COVER.pdf
2007 TA PP IVAN KURNIADI 1-BAB1.pdf
2007 TA PP IVAN KURNIADI 1-BAB2.pdf
2007 TA PP IVAN KURNIADI 1-BAB3.pdf
2007 TA PP IVAN KURNIADI 1-BAB4A.pdf
2007 TA PP IVAN KURNIADI 1-BAB4B.pdf
2007 TA PP IVAN KURNIADI 1-BAB4C.pdf
2007 TA PP IVAN KURNIADI 1-BAB5.pdf
2007 TA PP IVAN KURNIADI 1-PUSTAKA.pdf
Abstrak :
Pertumbuhan perkotaan di Indonesia berlangsung sangat pesat terlebih di wilayah kota-kota metropolitan yang ditunjukkan dengan peningkatan proporsi penduduk perkotaan yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pertumbuhan yang pesat ini tentu saja menuntut penyediaan infrastruktur perkotaan yang memadai, termasuk penyediaan air, energi, telekomunikasi, transportasi publik, perumahan, dan lainnya. Permasalahan yang dihadapi kota-kota besar tersebut juga terkait dengan perkembangan wilayah perkotaan yang mengalami perkembangan yang menyebar secara acak (sprawl). Wilayah Metropolitan Bandung sebagai kawasan perkotaan tumbuh pesat di Indonesia tak lepas dari permasalahan perkotaan tersebut. Struktur ruang yang telah terbentuk di Wilayah Metropolitan Bandung saat ini menunjukkan adanya gejala perkembangan yang tersebar secara acak dan belum tercipta hierarki pusat-pusat pelayanan. Di lain pihak, konsep pembangunan berkelanjutan terus berkembang hingga memunculkan pula konsep kota yang berkelanjutan (sustainable city). Konsep kota berkelanjutan memiliki prinsip-prinsip tertentu yang dapat digunakan untuk melihat pembangunan kota yang menunjukkan ciri-ciri keberlanjutan. Terkait dengan bentuk kota, kota yang kompak (compact city) di negara-negara maju dianggap sebagai suatu ciri kota yang berkelanjutan yang ditunjukkan dengan intensifikasi aktivitas di pusat kota, pembangunan dengan penambahan pada struktur yang telah ada, kombinasi fungsi-fungsi setiap bagian wilayah kota, penyediaan dan penyebaran fasilitas, dan pembangunan dengan kepadatan tinggi. Oleh sebab itu, proses urban compaction dapat dijadikan salah satu indikator keberlanjutan kota. Persoalan yang diangkat dalam studi ini adalah belum adanya kajian empirik yang mengidentifikasi pola spasial urban compaction di Wilayah Metropolitan Bandung. Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi pola spasial urban compaction di Wilayah Metropolitan Bandung. Tujuan itu akan dicapai dengan mengidentifikasi indikator compact city berdasarkan konsep dan prinsip keberlanjutan kota, menganalisis struktur dan pola ruang Wilayah Metropolitan Bandung dengan menggunakan indikator-indikator compact city, menganalisis tipologi kecamatan di Wilayah Metropolitan Bandung berdasarkan keseluruhan indikator compact city. Indikator-indikator urban compaction yang digunakan meliputi kepadatan penduduk, kepadatan terbangun, kepadatan sub-pusat, kepadatan perumahan, penyediaan fasilitas, perubahan guna lahan terbangun, pertumbuhan penduduk, dan perubahan kepadatan. Struktur ruang perkotaan di Wilayah Metropolitan Bandung berdasarkan indikator-indikator compact city secara umum mempunyai pola konsentris lingkaran baik pada aspek kepadatan, fungsi campuran, dan intensifikasi. Berdasarkan indikator-indikator compact city, secara umum Wilayah Metropolitan Bandung telah menunjukkan kekompakan dalam hal kepadatan penduduk yang terjadi di kota inti dengan tingkat intensifikasi yang cukup besar jika dilihat dari perubahan kepadatan di kota inti. Tetapi proses pemadatan (densifikasi) ini tidak diimbangi dengan pelayanan ketersediaan fasilitas pendidikan dan air bersih yang baik. Perkembangan kawasan perkotaan di Wilayah Metropolitan Bandung secara keseluruhan masih jauh dari konsep keberlanjutan karena hanya dimensi kepadatan saja yang terpenuhi sedangkan penyediaan fasilitasnya masih rendah. Masih jauhnya perkembangan Wilayah Metropolitan Bandung dari konsep keberlanjutan juga diindikasikan dengan adanya gejala perluasan kawasan terbangun ke wilayah sub-urban dan pinggiran yang berlangsung secara tersebar. Namun keberlanjutan perkotaan di Wilayah Metropolitan Bandung berdasarkan pengelompokan karakteristik urban compaction menunjukkan karakteristik yang berbeda-beda di tiap wilayah. Berdasarkan hasil studi ini, cluster 1, 2, dan 3 yang merupakan bagian kota inti Wilayah Metropolitan Bandung telah menunjukkan adanya pengompakan sedangkan cluster 4, 5, dan 6 masih belum menunjukan adanya gejala pengompakan karena sebagian besar lahannya merupakan lahan non-terbangun yang merupakan wilayah sub-urban dan pinggiran Metropolitan Bandung.