digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Dalam suatu proyek konstruksi terowongan, akan ditemukan perbedaan litologi, diskontinuitas, airtanah, dan pelapukan batuan yang tidak dapat dihindari karena rute terowongan sudah ditetapkan berdasarkan pertimbangan yang paling efisien. Salah satu cara dalam menyiasati kondisi tersebut adalah dengan melakukan klasifikasi massa batuan. Namun, apabila hanya menggunakan satu metode klasifikasi massa batuan, hasil yang didapatkan tidak akan terlalu akurat. Oleh karena itu, sangat disarankan menggunakan beberapa metode klasifikasi massa batuan untuk mendapatkan sistem penyangga terowongan yang sesuai dengan kondisi massa batuan. Pada penelitian ini digunakan tiga metode empiris, yaitu RMR, Q-System, dan RMi untuk mengetahui apakah sistem penyangga setiap metode tersebut akurat atau tidak dalam penerapan pada kondisi massa batuan di lokasi penelitian. Klasifikasi massa batuan dilakukan pada singkapan batuan di sepanjang jalur terowongan 4 kereta cepat Jakarta – Bandung yang berada di daerah Sukatani, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan litologi, terowongan ini dibagi menjadi empat zona, yaitu jalan masuk terowongan (inlet), tengah terowongan 1, tengah terowongan 2, dan jalan keluar terowongan (outlet). Klasifikasi massa batuan dilakukan dengan metode scanline untuk memperoleh RQD (Rock Quality Designation), kerapatan bidang diskontinuitas, kekasaran bidang diskontinuitas, lebar bukaan diskontinuitas, panjang bidang diskontinuitas, orientasi diskontinuitas, tingkat alterasi, dan tingkat pelapukan. Kemudian dilakukan pengamatan terhadap batuan inti untuk memperoleh gambaran litologi bawah permukaan, kuat tekan (UCS), dan elevasi muka airtanah. Berdasarkan data pengamatan lapangan tersebut, dilakukan pembobotan kelas massa batuan, sehingga didapatkan kebutuhan penyangga terowongan dari setiap metode klasifikasi massa batuan. Selain itu, berdasarkan kelas massa batuan tersebut dilakukan perhitungan untuk mendapatkan nilai properti keteknikan massa batuan berupa modulus deformasi, kohesi, sudut geser dalam, kuat tarik, dan nisbah Poisson. Nilai perhitungan properti keteknikan massa batuan tersebut digunakan sebagai data masukan untuk pemodelan numerik menggunakan metode elemen hingga (finite element) dengan bantuan perangkat lunak RS2. Hasil dari pemodelan numerik adalah rasio tegangan terinduksi dan in-situ, zona plastis (failure zone), perpindahan (displacement), dan faktor kekuatan (FK) yang merupakan gambaran tingkat stabilitas terowongan dari setiap metode. Selanjutnya, hasil pemodelan numerik tersebut akan dibandingkan satu dengan yang lainnya agar diketahui metode yang paling akurat. Pada hasil pemodelan numerik, dilakukan evaluasi terhadap tingkat stabilitas terowongan yang mengacu pada Komisi Keselamatan Jembatan dan Terowongan Jalan (KKJTJ), yaitu FK >1,5. Tingkat akurasi FK yang telah didapatkan akan divalidasi dengan hasil analisis kapasitas penyangga (support cappacity), sehingga nilai FK tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan nilai kekuatan batuan, batulempung termasuk ke dalam kelas batuan lemah (weak rock), batupasir tufan termasuk ke dalam kelas batuan sangat lemah (very weak rock), dan andesit termasuk ke dalam kelas batuan agak kuat (moderately strong rock) dan kuat (strong rock). Berdasarkan kelas massa batuan, batulempung sisipan batupasir dan batupasir tufan termasuk ke dalam kelas massa batuan buruk (poor rock) dan sangat buruk (very poor rock), sehingga sistem penyangga yang disarankan dari masing-masing metode menjadi lebih banyak. Hal ini berbanding terbalik dengan batuan andesit yang termasuk ke dalam kelas menengah (fair rock) yang menghasilkan sistem penyangga lebih sedikit. Berdasarkan hasil pemodelan numerik di lokasi jalan masuk (inlet) dan keluar (outlet) terowongan menunjukkan bahwa sistem penyangga metode empiris tidak cukup akurat diterapkan. Hal ini disebabkan terowongan memiliki FK <1,5 pada lokasi dinding dan kapasitas penyangga memiliki FK <1,5. Hal ini berbanding terbalik dengan hasil analisis di lokasi tengah 1 dan 2 terowongan, yang menunjukkan FK >1,5 dan kapasitas penyangga memiliki FK >1,5. Penelitian ini menunjukkan bahwa metode empiris kurang akurat apabila diterapkan pada kondisi batuan lemah dengan kelas massa batuan sangat buruk hingga buruk. Namun, metode tersebut akurat apabila diterapkan pada kondisi batuan agak kuat hingga kuat dengan kelas massa batuan sedang.