digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Proyek konstruksi merupakan suatu proses mengubah sumberdaya menjadi suatu produk yang lebih bernilai yakni berupa bangunan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa di dalam suatu proses membangun pasti akan menghasilkan sisa atau biasa dikenal dengan waste. Waste yang dimaksud adalah waste fisik berupa kelebihan material atau produk rusak yang tidak dapat dimanfaatkan lagi akibat berbagai hal yang terjadi di dalam proses. Keberadaan waste dapat berpengaruh menurunkan efisiensi proyek dan berdampak negatif terhadap aspek penting seperti lingkungan, sehingga upaya reduksi terhadap waste dinilai perlu untuk dilakukan. Upaya yang dianggap efektif dalam mereduksi waste adalah dengan pemberian insentif. Hadirnya insentif sebagai mekanisme intervensi di dalam suatu proses konstruksi diyakini mampu mendorong terjadinya perbaikan proses, sebab insentif dapat memberikan motivasi terhadap pelaku dari proses untuk meningkatkan kinerjanya, sehingga diharapkan waste dapat tereduksi. Akan tetapi, potensi insentif yang demikian tidak didukung dengan regulasi dan kontrak kerja konstruksi yang jelas. Perlu dilakukan identifikasi terkait penerapan insentif yang sesuai untuk tujuan reduksi waste pada proyek konstruksi di Indonesia. Penelitian ini berupaya untuk mengetahui persepsi Kontraktor dan Pemberi Kerja selaku dua pihak utama yang terlibat dalam proyek konstruksi terkait penerapan insentif yakni meliputi empat kategori utama, antara lain perlunya pemberian insentif, implementasi bentuk dan mekanisme insentif, upaya yang dilakukan kontraktor untuk mendapatkan insentif, serta dampak penerapan insentif. Selanjutnya dari respon yang telah diberikan oleh kedua kelompok tersebut dikomparasikan hasilnya untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan signifikan terkait persepsi yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan metode analisis deskriptif, diketahui bahwa Kontraktor dan Pemberi Kerja sepakat bahwa penerapan insentif untuk reduksi waste material pada proyek konstruksi perlu untuk dilakukan. Implementasi bentuk insentif finansial yang dinilai sesuai untuk diterapkan menurut kedua pihak yakni berupa uang bonus. Sedangkan untuk insentif non finansial, Kontraktor cenderung setuju jika berupa sertifikat penghargaan, sedangkan Pemberi Kerja lebih menganggap bentuk acknowledgement/ pengakuan lebih tepat untuk diberikan. Terkait mekanisme insentif, perlu diatur dan dituliskan secara jelas di dalam kontrak. Pada penelitian ini ditunjukkan diagram ilustrasi bagaimana mekanisme insentif yang ideal penerapannya dalam suatu proses konstruksi. Selanjutnya, terkait upaya kontraktor agar mendapatkan insentif, hal penting yang perlu dilakukan menurut kedua pihak adalah dengan penyediaan gudang material yang aman dan perencanaan design waste sejak awal konstruksi serta perlunya mempekerjakan tenaga kerja yang terlatih dan tersertifikasi. Terakhir, penerapan insentif diyakini akan berdampak besar terhadap aspek waktu dan manajerial proyek. Dari uji komparatif Mann Whitney yang telah dilakukan dengan ketelitian 5%, diperoleh kesimpulan bahwa secara umum tidak terdapat perbedaan signifikan antara persepsi Kontraktor dan Pemberi Kerja terkait penerapan insentif yang sesuai untuk tujuan reduksi waste material pada proyek konstruksi di Indonesia.