Keanekaragaman hayati menggambarkan kondisi ekosistem suatu area. Penelitian
ini dilakukan di sekitar Kepulauan Karimun Jawa, difokuskan pada fitoplankton,
terutama diatom (Bacillariophyceae), yang dipilih karena merupakan produsen
utama di perairan laut. Diatom mempunyai keragaman yang tinggi, namun
informasi mengenai diatom laut di Indonesia dan potensinya sebagai penghasil
lipida masih sangat sedikit. Adapun produksi lipida oleh diatom dipengaruhi antara
lain oleh cekaman faktor fisika dan kimia lingkungan, sehingga informasi mengenai
cekaman ekologis di alam menjadi penting sebagai dasar pengembangan lebih
lanjut dalam kultur batch secara indoor.
Serangkaian penelitian telah dilakukan untuk menggambarkan diatom laut tropis
Indonesia dan potensinya, yang meliputi: 1) keanekaragaman diatom di perairan
Karimun Jawa dan determinant factors yang mempengaruhinya, 2) potensi diatom
sebagai penghasil lipida dari lingkungan alaminya, dan 3) peningkatan efisiensi
produksi lipida pada kultur diatom melalui modifikasi cahaya dan nutrien.
Dari penelitian ini diperoleh 17 genera diatom dari Karimun Jawa. Genera Nitzschia
spp., Navicula spp., Thalassiora spp. dan Amphora spp. umum ditemukan dan
terdapat hampir di semua lokasi pencuplikan, walaupun kelimpahannya berbedabeda
di setiap lokasi. Genera yang terbatas kehadirannya namun terdapat dalam
kelimpahan yang tinggi adalah Chaetoceros spp. yang ditemukan di laut (titik
sampling 1), pelabuhan kapal besar (titik sampling 4), dan teluk bermangrove yang
digunakan untuk pelabuhan kapal privat (titik sampling 7); serta Skeletonema spp.
di teluk bermangrove yang digunakan untuk pelabuhan kapal privat (titik sampling
7). Hubungan antara genera dan kondisi lingkungan di Karimun Jawa ditentukan
oleh sumber nitrogen, yaitu amonium dan nitrat. Pada daerah dengan konsentrasi
nitrat tinggi, Chaetoceros spp. muncul mendominasi. Kandungan nitrat dan fosfat
yang tinggi berasosiasi dengan aktivitas antropogenik. Sedangkan, kelimpahan
Nitzschia spp. yang tinggi berkorelasi dengan kandungan amonium di daerah
mangrove yang relatif tidak terpengaruh aktivitas manusia. Adanya area konservasi
mangrove menjaga keberadaan diatom, sehingga secara tidak langsung menjaga
potensi pemanfaatan secara berkelanjutan.
Dari semua genera yang dicoba untuk ditumbuhkan, lima isolat berhasil tumbuh
dengan baik. Isolat yang berhasil dikultur adalah spesies yang umum ditemukan
dan mempunyai rentang toleransi yang lebar. Kegagalan kultur merupakan respon
ketidaksesuaian dengan lingkungan yang baru, yang mana nutrien dalam medium
tidak sesuai dengan kebutuhan alaminya yang spesifik.
Lima isolat yang berhasil tumbuh dengan baik adalah 3 jenis Nitzschia sp. dan dua
jenis Navicula sp. Kelima isolat tersebut tetap bertahan hingga lebih dari 9 generasi
sehingga dapat digunakan untuk tahap penelitian lebih lanjut yang dilakukan secara
batch di dalam ruangan (indoor). Apabila dibandingkan dengan 19 jenis diatom
lain dari perairan Teluk Jakarta, Cilacap, Yogyakarta, Bali, dan Lombok, Nitzschia
sp. RCO 4 (=Research Center for Oceanography, LIPI) dari Karimun Jawa
mempunyai produksi biomassa (845 ± 42 mg/L), produksi lipida (121 ± 20 mg/L),
danlaju pertumbuhan tertinggi, serta fase stasioner yang dicapai dalam waktu yang
tidak terlalu panjang, sehingga digunakan untuk tahap penelitian berikutnya. Profil
asam lemak menunjukkan bahwa asam lemak jenuh asam palmitat dan asam lemak
tak jenuh asam palmitoleat ditemukan pada semua diatom laut yang diujikan.
Penggunaan warna cahaya dalam kultur fitoplankton merupakan hal yang menarik.
Kebanyakan kultur mikroalga dapat tumbuh dengan baik di bawah cahaya merah.
Namun, ternyata diatom tidak tumbuh di bawah cahaya merah (650-665 nm), tetapi
tumbuh dengan baik di bawah cahaya biru (460-475 nm). Diatom mempunyai
klorofil c, yang tidak dimiliki oleh fitoplankton lain seperti mikroalga hijau
(Chlorophyceae). Panjang gelombang cahaya biru sesuai dengan puncak
penyerapan cahaya oleh klorofil c, yang meningkatkan sistem pengumpulan cahaya
di fotosistem II, sehingga meningkatkan laju fotosintesis. Dibandingkan dengan
pencahayaan biasa (daylight), penggunaan cahaya biru meningkatkan produksi
biomassa dari 0,85 ± 0,04 g/L menjadi 1,39 ± 0,18 g/L, dan produksi lipida dari
0,141 ± 0,020 g/L menjadi 0,236 ± 0,120 g/L, namun tidak meningkatkan
persentase lipida.
Pada kultur, asam lemak jenuh dihasilkan terlebih dahulu, kemudian menjadi bahan
baku pembuatan asam lemak tak jenuh. Hal ini ditandai dengan adanya asam lemak
jenuh sejak awal periode kultur, sedangkan asam lemak tak jenuh muncul mulai
awal fase stasioner. Adanya asam lemak jenuh sepanjang periode kultur disebabkan
adanya individu baru hasil pertumbuhan yang selalu muncul hingga kultur
mencapai carrying capacity-nya. Penggunaan cahaya biru meningkatkan
ketersediaan energi di dalam sel yang dibutuhkan dalam pembentukan asam lemak
tak jenuh rantai panjang, yang ditandai dengan peningkatan produksi asam lemak
tak jenuh ARA (asam arakidonat, arachidonic acid), DHA (asam dokosaheksanoat,
docosahexanoic acid), dan EPA (asam eikosapentanoat, eicosapentanoic acid) dua
kali lipat lebih tinggi bila dibandingkan dengan penggunaan cahaya putih. Cahaya
biru kemudian digunakan pada tahap penelitian berikutnya.
Di bawah cahaya biru, pertumbuhan dan produksi biomassa yang optimum
diperoleh pada medium f/2 tanpa modifikasi, yang menunjukkan bahwa medium
tersebut merupakan medium yang tepat untuk pertumbuhan Nitzschia sp. RCO 4.
Dalam pertumbuhannya, Nitzschia sp. RCO 4 lebih cepat menghabiskan nitrat
daripada fosfat dan silikat dalam medium. Rekayasa faktor lingkungan dengan
memodifikasi konsentrasi nitrat di dalam medium meningkatkan persentase lipida
seiring dengan pengurangan konsentrasi nitrat. Produksi lipida optimum (0,229 ±
0,007) g/L) dan produksi asam lemak tak jenuh tertinggi (0,138 ± 0,005 g/L),
diperoleh pada perlakuan O,5N (4,41.10-4 M NaNO3 dalam medium f/2).
Penurunan nitrogen (nitrat) dalam medium hingga 0,25N (2,205.10-4 M NaNO3
dalam medium f/2) mengurangi persentase asam lemak jenuh (terutama asam
palmitat), dan persentase asam lemak tak jenuh (asam palmitoleat, asam
stearadonat, asam linoleat, dan EPA) akan meningkat. Namun, pengurangan
konsentrasi nitrat mengakibatkan diatom tidak mempu menghasilkan asam lemak
tak jenuh rantai sangat panjang DHA.
Modifikasi konsentrasi fosfat di dalam medium meningkatkan persentase lipida
pada sel diatom seiring dengan pengurangan konsentrasi fosfat. Produksi lipida
optimum (0,217 ± 0,005 g/L), produksi asam lemak jenuh tertinggi (0,078 ± 0,004
g/L) dan produksi asam lemak tak jenuh tertinggi (0,138 ± 0,005 g/L), diperoleh
pada perlakuan O,5P (1,18.10-5 M NaH2PO4 dalam medium f/2). Pengurangan
konsentrasi fosfat dalam medium akan menyebabkan peningkatan persentase asam
lemak jenuh asam palmitat serta asam lemak tak jenuh ARA, EPA, dan DHA.
Modifikasi konsentrasi silikat di dalam medium meningkatkan persentase lipida
dengan berperan dalam jalur omega-7 yang ditandai dengan peningkatan persentase
asam lemak jenuh asam palmitat serta asam lemak tak jenuh asam palmitoleat, dan
jalur omega-3 yang ditandai dengan peningkatan EPA. Produksi lipida optimum
(0,211 ± 0,009 g/L) dan produksi asam lemak tak jenuh optimum (0,152 ± 0,004
g/L), diperoleh dari perlakuan 0,25Si (0,265.10-4 M NaSiO3.9H2O dalam medium
f/2).
Produksi asam lemak jenuh dan tak jenuh yang efisien dapat dihasilkan Nitzschia
sp. RCO 4 melalui modifikasi jenis cahaya, konsentrasi fosfat, konsentrasi nitrat,
dan konsentrasi silikat. Produksi asam palmitoleat yang optimum didapat dari
penggunaan cahaya biru, perlakuan 0,25Si, setelah melewati fase stasioner.
Produksi asam linoleat yang optimum didapat dari penggunaan cahaya biru,
perlakuan 0,5P, pada fase stasioner. Produksi asam oleat yang optimum didapat dari
penggunaan cahaya biru, perlakuan 0,5Si, pada fase logaritmik mendekati fase
stasioner. Produksi ARA yang optimum didapat dari penggunaan cahaya biru,
perlakuan 0P pada fase logaritmik. EPA yang optimum didapat dari penggunaan
cahaya biru, perlakuan 0,5N, pada fase stasioner. Sedangkan DHA yang optimum
didapat dari penggunaan cahaya biru, perlakuan 0,5P, setelah fase stasioner.