digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Auliyanisa Pramasynta
PUBLIC yana mulyana

Reaksi Obat Merugikan (ROM) pada kulit merupakan reaksi tidak diinginkan yang terjadi pada kulit atau daerah mukokutan akibat penggunaan obat dalam dosis profilaksis, diagnosis, maupun terapi. Menurut data efek samping obat dari WHO, 18,3% dari 13 juta laporan efek samping obat yang diterima dari lebih dari 100 negara merupakan ROM pada kulit, sehingga kulit menjadi sistem organ ketiga yang paling sering dilaporkan. WHO juga menyebutkan, sekitar 2% dari seluruh jenis efek samping obat pada kulit yang timbul tergolong serius bahkan menyebabkan kematian, dengan penyebab tersering adalah antibiotik. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi jumlah kejadian dan jenis ROM pada kulit, suspek obat dan bentuk sediaan yang paling banyak menimbulkannya, serta menilai terapi obat untuk menanganinya di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian ini merupakan studi deskriptif yang dilakukan secara retrospektif melalui laporan pemantauan efek samping obat dan rekam medik pada Januari-Desember 2018. Jumlah sampel yaitu 67 berdasarkan total sampling selama masa penelitian April-Juni 2019. Hasil penelitian menunjukkan jumlah pasien rawat jalan yang mengalami ROM pada kulit 23 orang dan rawat inap 44 orang. Diagnosis terbanyak adalah drug eruption baik pada pasien rawat jalan (86,96%) dan pasien rawat inap (38,64%), diikuti oleh Sindrom Steven Johnson (SSJ) (25,00%) pada rawat inap dan (13,04%) pada rawat jalan. Golongan obat yang paling banyak dicurigai sebagai penyebab adalah antibiotik, baik pada pasien rawat inap (59,10%) dan pasien rawat jalan (47,48%). Obat yang paling banyak dicurigai adalah parasetamol (31 orang). Bentuk sediaan tablet merupakan bentuk sediaan terbanyak yang dicurigai menyebabkan ROM pada kulit. Terapi yang paling banyak digunakan untuk menanganinya adalah kombinasi kortikosteroid topikal, kortikosteroid sistemik, dan antihistamin reseptor H1. Hasil terapi menunjukkan 61% pasien rawat inap dan 43% pasien rawat jalan mengalami perbaikan dan 25% pasien rawat inap sembuh dengan terapi yang diberikan.