Pengembangan kawasan berorientasi transit (TOD) dianggap merupakan salah satu
alat dalam mengatasi masalah transportasi di perkotaan, di mana TOD merupakan
sebuah konsep penataan kawasan yang bersifat mixed use dan terintegrasi dengan
jaringan angkutan umum. Konsep TOD mulai muncul di Indonesia sejalan dengan
semakin banyaknya rencana pembangunan sistem angkutan umum massal perkotaan,
seperti MRT dan LRT, atau angkutan massal regional seperti Kereta Api Cepat.
Banyak kota di dunia yang sudah menerapkan konsep TOD, namun pada
penerapannya tidak semua implementasi TOD ini berhasil sesuai dengan tujuan yang
ditetapkan. Dalam proses perencanaan dan implementasi TOD, muncul permasalahan
tata kelola yang timbul akibat ketidakjelasan pembagian kewenangan serta
ketegangan lintas sektor dan berbagai aktor yang terlibat dengan berbagai macam
persepsi, tujuan, sumber daya, dan strategi yang berbeda. Secara teoritik, tata kelola
jaringan dapat terjadi secara hierarkis maupun informal untuk mengeefektifkan
pembangunan dan mengimplementasikan kebijakan.
Dengan latar belakang tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tata
kelola jaringan yang terbentuk antar aktor dalam kerangka perencanaan strategis
untuk mengimplementasikan TOD di Indonesia. Studi kasus yang diambil adalah
pengembangan TOD di sepanjang koridor MRT Jakarta Fase 1, khususnya TOD
Dukuh Atas. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif berdasarkan
wawancara mendalam dengan berbagai aktor yang terlibat langsung dalam
implementasi TOD. Penelitian dilakukan dengan menggunakan analisis isi dan
analisis tata kelola jaringan. Pada awalnya dilakukan identifikasi kebijakan dalam 4
(empat) kerangka perencanaan strategis untuk mengimplementasikan TOD, dan
kemudian dilakukan analisis tata kelola jaringan antar aktor dalam tiap kerangka
perencanaan strategis tersebut.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tata kelola jaringan antar aktor dalam
mengimplementasikan TOD ini sudah mulai terbentuk, namun masih rendah. Pada
umumnya para aktor sudah mempunyai kesadaran akan adanya multi aktor yang
terlibat dengan perbedaan persepsi, tujuan, dan kewenangan, namun koordinasi antar
aktor masih kurang dan belum ada kesepakatan dalam mencapai tujuan bersama
karena belum adanya mekanisme dan panduan kerjasama, selain itu juga terdapat
kekurangan dalam kelembagaan serta rule yang mendorong kerjasama antar aktor.