Teknologi persinyalan di Indonesia saat ini memasuki babak baru, dimana banyak
dibangunnya infrastruktur transportasi massal berbasis rel di daerah perkotaan yang
lebih dikenal dengan nama urban transit. Mass rapid transport (MRT) Jakarta,
Light Rail Transit (LRT) di Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi (Jabodebek) dan
Palembang, serta Automated People Mover System (APMS) di Bandara Soekarno-
Hatta merupakan contoh urban transit yang telah dibangun di Indonesia. Teknologi
persinyalan yang diterapkan pada urban transit bukan teknologi persinyalan
konvensional seperti yang telah ada sebelumnya di Indonesia, melainkan
menerapkan sistem persinyalan mutakhir yaitu teknologi persinyalan
Communication Based Train Control System (CBTC) dan European Train Control
System (ETCS).
Pada sistem persinyalan CBTC, salah satunya diterapkan pada APMS Bandara
Soekarno-Hatta, memiliki tingkat otomasi yang tinggi dimana pengendalian kereta
sudah tidak dilakukan lagi oleh masinis tetapi dilakukan oleh sistem secara
otomatis. Sistem ini berbasis pada komunikasi radio yang kontinu antara kereta
dengan pusat kontrol (control centre). Dalam sistem ini, setiap kereta mengirimkan
data posisi dan kecepatannya ke Zone Controller (ZC). Dengan informasi data
posisi dan kecepatan ini, ZC akan menghitung Limit of Movement Authority (LMA)
dan mengirimkannya ke setiap kereta yang ada. LMA merupakan batas pergerakan
kereta di dalam area CBTC.
Data posisi dan kecepatan merupakan dasar untuk menghitung LMA setiap kereta,
sehingga dibutuhkan sensor yang memiliki akurasi yang cukup tinggi untuk
mengukur posisi dan kecepatan secara kontinu. Setiap sensor, seakurat apapun itu,
memiliki ketidakpastian (uncertainty) ataupun kemungkinan terjadinya kesalahan
dalam pengukuran yang bergantung pada karakteristik masing-masing sensor.
Metode sensor fusion merupakan metode yang menggabungkan data pengukuran
dari beberapa sensor yang memiliki karakteristik pengukuran yang berbeda-beda
untuk mendapatkan hasil pengukuran yang lebih baik dibandingkan dengan
penggunaan sensor secara individual.
Saat ini, informasi kecepatan pada APMS diperoleh dari tachometer. Secara
periodik informasi dari tachometer ini dikalibrasi dengan transponder atau balise
yang tersebar dengan jarak tertentu secara periodik di sepanjang rel. Balise ini
dijadikan sebagai referensi nilai posisi absolut. Hasil perbandingan antara posisi
absolut dengan posisi yang didapatkan dari tachometer memiliki nilai Root Mean
Square Error (RMSE) sebesar 7,12 m. Sensor tambahan yang telah disiapkan dan
direncanakan akan dipasang pada sistem APMS ini adalah akselerometer yang
merupakan bagian dari Inertial Measurement Unit (IMU) yang terdiri dari
akselerometer dan gyroscope. Apabila dibandingkan dengan nilai posisi absolut,
akselerometer ini mempunyai nilai RMSE sebesar 7,41 m.
Metode sensor fusion yang digunakan dalam penelitian ini adalah Extended Kalman
Filter (EKF) dan Unscented Kalman Filter (UKF) yang dapat mengakomodasi
model-model non linier yang sering kali ditemui di bidang keteknikan. Dari hasil
pengukuran, perhitungan sensor fusion menggunakan metode EKF memberikan
nilai RMSE untuk posisi yaitu sebesar 5,89 m. Sedangkan dengan menggunakan
metode UKF, pembacaan posisi dari sensor fusion dibandingkan dengan posisi
absolutnya memiliki nilai RMSE sebesar 3,65 m. Ini artinya baik metode EKF
maupun UKF memberikan hasil pengukuran yang lebih baik bila dibandingkan
penggunaan sensor secara individual. Metode UKF memberikan hasil yang lebih
baik dibandingkan EKF, karena dalam metode EKF terdapat proses liniearisasi
dengan deret Taylor orde rendah yang memungkinkan memberikan hasil yang
suboptimal. Sedangkan dengan metode UKF tidak terdapat proses linierisasi,
sehingga cocok digunakan untuk model dengan non linearitas yang tinggi.