digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Phyllanthus merupakan salah satu genus terbesar kedua setelah Euphorbia dari tumbuhan famili Euphorbiaceae, yang tersebar luas di daerah tropis dan subtropis, antara lain Asia, Afrika, dan Amerika Selatan. Beberapa tumbuhan genus ini telah dilaporkan memiliki berbagai kegunaan dalam kesehatan, antara lain untuk mengatasi gangguan ginjal dan kandung kemih, infeksi usus, diabetes dan gangguan fungsi hati. Walaupun sebagai genus yang besar, kajian fitokimia kelompok tumbuhan ini masih relatif jarang, yaitu baru 29 dari 700 spesies Phyllanthus, dua diantaranya berasal dari Indonesia. Hasil penelusuran pustaka menunjukkan bahwa genus ini menghasilkan metabolit sekunder golongan lignan, alkaloid, flavonoid, triterpenoid, steroid, dan turunan asam fenolat. Selain kajian fitokimia, para peneliti juga telah mengkaji sifat biologis tumbuhan genus Phyllanthus, baik pada tingkat ekstrak ataupun senyawa-senyawa murni hasil isolasi. Kajian bioaktivitas ekstrak meliputi sifat antioksidan, antivirus, dan antimikroba. Hasil kajian tersebut menyarankan bahwa tumbuhan Phyllanthus sangat potensial sebagai sumber senyawa-senyawa yang bersifat antimikroba. Pada penelitian ini telah dilakukan kajian fitokimia terhadap tiga spesies tumbuhan Phyllanthus, yaitu Phyllanthus myrtifolius, P. emblica, dan P. niruri. Ketiga sampel tumbuhan pada penelitian ini berasal dari Jawa Barat (P. myrtifolius, Bogor; P. emblica, Bandung) dan Jawa Tengah (P. niruri, Kebumen). Selain itu, telah dilakukan pula uji aktivitas antimikroba ekstrak aseton ketiga tumbuhan dan senyawa hasil isolasi terhadap delapan bakteri isolat klinik yang diperoleh dari Politeknik Kesehatan, Cimahi (isolat ?Bandung?) yaitu bakteri Gram-(-) (Enterobacter aerogenes, Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Salmonella typhi, Shigella dysentriae, dan Vibrio cholerae), serta bakteri Gram-(+) B. subtilis, Staphylococcus aureus dan duabelas bakteri uji dari Universiti Putra Malaysia (UPM) (isolat ?Malaysia?) yaitu (Gram-(+): B. cereus ATCC 33019, B. subtilis ATCC 6633, Listeria monocytogenesis ATCC 15313, Propionibacterium acnes ATCC 3314, MRSA (Meticillin Resistant S. aureus) ATCC 29213, S. epidermidis ATCC 155, Streptococcus mutants ATCC 27351, dan S. mutants (isolat klinikal); Gram-(-): Klebsiella pneumoniae ATCC 13773, Proteus mirabilis ATCC 21100, P. aeruginosa ATCC 9027, dan S. typhi), serta satu spesies jamur patogen Fusarium oxsysporum yang berasal dari koleksi UPM. Isolasi metabolit sekunder berlangsung dalam beberapa tahap meliputi ekstraksi menggunakan metode maserasi dan partisi cair-cair, fraksinasi, dan pemurnian menggunakan berbagai teknik kromatografi. Struktur molekul senyawa hasil isolasi ditetapkan berdasarkan analisis data spektroskopi, terutama spektroskopi NMR-1D dan NMR-2D, sementara pengujian sifat antimikroba dilakukan menggunakan metode mikrodilusi mengacu pada metode standar CLSI M07-A9 (antibakteri) dan CLSI M38-A2 (antijamur). Pada kajian fitokimia telah berhasil diisolasi duabelas senyawa murni, termasuk diantaranya satu senyawa baru, yaitu asam 3?-(3',4'-di-O-asetil-?-L- arabinopiranosil)-12-oleanen-28-oat (1). Sebelas senyawa lainnya merupakan senyawa yang telah dikenal, yang meliputi satu triterpen yaitu lupeol (2); tujuh senyawa lignan dengan kerangka arilnaftalen, yaitu retrojustisidin B (3), filamirisin A (4), justisidin B (5), filamirisin C (6), filamirisin E (7), filamirisin F (8), piskatorin (9); dua senyawa lignan dengan kerangka ariltetralin dan dibenzilbutan yaitu nirtetralin B (10) dan filantin (11); serta satu senyawa turunan asam benzoat, yaitu asam 4-O-metilgalat (12). Penemuan senyawa 1 dalam P. myrtifolius memberi arti penting pada fitokimia tumbuhan ini, bukan saja penemuan triterpen dengan kerangka oleanan adalah pertamakali, melainkan juga adanya gugus arabinosil terikat pada kerangka triterpen adalah pertamakali pada genus Phyllanthus. Selain itu, penemuan justisidin B (5) dan piskatorin (9) adalah juga pertamakali pada tumbuhan P. myrtifolius. Secara kemotaksonomi, kedua spesies P. myrtifolius dan P. niruri berkerabat dekat karena keduanya mengandung metabolit sekunder turunan lignan sedangkan P. emblica tidak. Berdasarkan kandungan lignan tersebut dapat disarankan bahwa P. myrtifolius merupakan spesies yang lebih maju dibandingkan dengan P. niruri karena secara biogenetik lignan ariltetralin adalah prekursor pada pembentukan lignan arilnaftalen. Hasil pengujian sifat antimikroba menunjukkan, secara umum aktivitas inhibisi ketiga ekstrak terhadap pertumbuhan bakteri Gram-(-) isolat ?Bandung? lebih baik dibandingkan dengan inhibisi terhadap bakteri Gram-(+). Pada pengujian sifat antibakteri ekstrak aseton tumbuhan Phyllanthus terhadap bakteri uji isolat ?Malaysia? menunjukkan hanya ekstrak aseton P. myrtifolius yang aktif terhadap bakteri MRSA (zona hambat 14 mm), meskipun jauh lebih rendah dibandingkan dengan kontrol positif antibiotik (klorheksidin, 22 mm). Pada tingkat senyawa murni, senyawa baru triterpen glikosida 3?-(3',4'-di-O-asetil-?-L- arabinopiranosil)-12-oleanen-28-oat (1) dan lignan arilnaftalen filamirisin C (6) (MIC 31,3 ?g/mL) merupakan dua senyawa hasil isolasi yang potensial sebagai antibakteri. Kedua senyawa tersebut memperlihatkan aktivitas tertinggi terhadap tujuh dari delapan spesies bakteri uji isolat ?Bandung?, terutama terhadap bakteri uji Gram-(-), serta satu bakteri Gram-(+) B. subtilis. Senyawa lignan arilnaftalen retrojustisidin B (3) dan filamirisin A (4) juga menunjukkan aktivitas yang sama dengan senyawa 1 dan 6, kecuali terhadap bakteri S. typhi (MIC 62,5 ?g/mL). Senyawa lignan arilnaftalen justisidin (5), filamirisin E (7), dan filamirisin F (8) menunjukkan aktivitas antibakteri yang moderat (62,5-125 ?g/mL). Namun demikian, pengujian keduabelas senyawa (1-12) terhadap seluruh bakteri uji isolat ?Malaysia? memperlihatkan aktivitas antibakteri yang moderat atau lemah (MIC 62,5-500 ?g/mL). Pada pengujian sifat antijamur, senyawa murni yang diperoleh P. myrtifolius, yaitu filamirisin C (6), dan P. niruri, yaitu nirtetralin B (10), adalah paling aktif dalam menghambat pertumbuhan jamur F. oxysporum dengan nilai MIC keduanya 4,0 ?g/mL. Walaupun demikian, pada uji germinasi mikrokonidia, kedua senyawa tersebut memerlukan konsentrasi yang lebih tinggi untuk dapat menghambat secara sempurna. Dengan demikian, kedua senyawa ini memiliki potensi yang tinggi sebagai senyawa alami yang aktif untuk mengatasi infeksi jamur F. oxysporum. Selanjutnya, mengingat potensi yang cukup tinggi dari tumbuhan genus Phyllanthus sebagai agen antimikroba serta masih banyaknya spesies Phyllanthus Indonesia yang belum dikaji, maka penelitian lebih lanjut terhadap fitokimia dan aktivitas antimikroba tumbuhan Phyllanthus perlu dilanjutkan. Kajian tersebut dapat mengungkapkan secara lebih luas potensi tumbuhan Phyllanthus Indonesia sebagai antimikroba yang berasal dari bahan alam.