Lapangan Gas Natuna Timur merupakan lapangan gas terbesar di Indonesia dengan estimated gas in place sebesar 222 TSCF (komposisi CO2 71%, CH4 24%, dan sisanya gas lain non-hidrokarbon). Laju alir optimum lapangan ini adalah sebesar 8 BSCFD (gas metan 2,16 BSCFD), dengan waktu produksi selama 32 tahun. Total produksi CO2 Natuna Timur (selama 32 tahun) adalah sebesar 68.211 BSCF.Diperlukan suatu strategi alokasi dan konsep manajemen proyek agar CO2 yang diproduksi oleh Lapangan Gas Bumi Natuna Timur, dapat dimanfaatkan secara optimum, baik dari segi biaya maupun waktu. Besarnya jumlah CO2 yang diproduksikan oleh Lapangan Gas Bumi Natuna Timur dapat dialokasikan untuk kegiatan EOR (Enhanced Oil Recovery) di Sumatera sebesar 26% (17.834 BSCF), CSSU (Carbon Sequestration Storage Utilization) di Cekungan Natuna Timur sebesar 16% (10.700 BSCF), dan untuk kebutuhan industri yaitu sebagai bahan baku urea sebesar 58% (39.677 BSCF).
Estimasi waktu proyek adalah selama 61 tahun, dimana proyek ini terdiri dari empat tahap, yaitu konstruksi infrastruktur (4 tahun), tahap pemboran sumur produksi CO2 di Natuna (7 tahun), tahap EOR di Sumatera (32 tahun), dan tahap CSSU di Cekungan Natuna Timur (50 tahun). Seluruh proses pendistribusian CO2 ini akan dilakukan menggunakan pipeline. Biaya investasi yang diperlukan untuk pengembangan Lapangan Natuna Timur adalah 4.073 MMUSD, Biaya investasi untuk EOR di Sumatera adalah 3.539 MMUSD, dan biaya investasi untuk metode CSSU di Cekungan Natuna Timur adalah 530,51 MMUSD. Total biaya investasi pada proyek alokasi produksi CO2 Natuna Timur adalah 8.539 MMUSD.
Evaluasi keekonomian akan dilakukan dengan menggunakan dua skema kontrak kerjasama, yaitu PSC Cost Recovery dan Gross Split. Dari hasil evaluasi ekonomi, diperoleh bahwa Lapangan Gas Bumi Natuna Timur layak untuk dikembangkan, karena menghasilkan nilai NPV kontraktor @10% positif, yaitu 5.060 MMUSD (IRR 34%, POT 10 tahun) untuk skema PSC Cost Recovery dan 9.565 MMUSD (IRR 42%, POT 11 tahun) untuk skema Gross Split. Tujuan dari sensitivitas alokasi CO2 dilakukan sebagai acuan untuk menentukan kelayakan suatu proyek maupun untuk pengembangan proyek pada lapangan migas lainnya. Skema Gross Split menghasilkan NPV kontraktor dan IRR yang lebih tinggi, dengan hal ini skema Gross Split secara keekonomian lebih menarik daripada skema Cost Recovery.
Namun demikian, faktor resiko dan ketidakpastian pada skema Gross Split akan menjadi kendala yang berarti.