digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Secara alami produksi migas dari suatu lapangan akan mengalami penurunan karena itu perlu diimbangi dengan kegiatan eksplorasi untuk menemukan cadangan baru yang dapat diproduksi secara ekonomis. Cadangan migas Indonesia saat ini diperkirakan sebagian besar berada pada cekungan di wilayah lepas pantai terutama di wilayah laut dalam. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas laut dalam memerlukan dukungan teknologi canggih, biaya investasi tinggi, dengan resiko serta tantangan yang tinggi pula. Akibat temperatur limgkungan yang cukup rendah, terbentuknya hidrat merupakan tantangan tersendiri dalam produksi migas di wilayah laut dalam, dimana terbentuknya hidrat tersebut dapat menimbulkan masalah operasi baik berupa potensi kehilangan produksi maupun resiko keselamatan kerja karena dapat meyebabkan penyumbatan pada sistem perpipaan ataupun peralatan lainnya, seperti yang terjadi pada fasilitas produksi yang dioperasikan oleh PT ABC yang berlokasi di selat Makassar, memproduksi migas yang berasal dari lapangan A dan Lapangan B, dimana terjadi repetitif shutdown kompresor yang dicurigai disebabkan terbentuknya hidrat. Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi terbentuknya hidrat serta menentukan metode pencegahannya sehingga masalah repetitif shutdown kompresor dapat dihindari. Evaluasi dilakukan dengan bantuan perangkat lunak HYSYS yang dilakukan pada kondisi steady state. Dari hasil simulasi dapat dikonfirmasi bahwa kegagalan kompresor disebabkan karena terbentuknya hidrat sehingga menyumbat aliran gas pada sisi isap kompresor. Pada saat laju alir gas dari lapangan A sebesar 23,5 MMSCFD, apabila gas lapangan B lebih besar dari 75 MMSCFD hidrat akan terbentuk sepanjang aliran gas mulai dari outlet slug catcher, suction header, suction filter sampai ke inlet kompresor. Apabila laju alir gas dari lapangan B kurang dari 75 MMSCFD hidrat tidak terbentuk pada suction header, tetapi masih terbentuk pada outlet slug catcher. Berdasarkan data operasi lapangan bahwa repetitif shut down kompresor terjadi setelah produksi gas dari lapangan B dinaikkan dari 75 MMSCFD sampai 110 MMSCFD; dengan kejadian tersebut dapat dijelaskan bahwa selama hidrat tidak terbentuk pada suction header, kondisi ini tidak akan menyebabkan repetitif shut down kompresor karena diperkirakan hidrat yang terbentuk akan terbawa aliran dan akan mencair kembali setelah mencapai suction header. Namun apabila aliran pada suction header berada pada zona hidrat, hidrat tersebur akan terakumulasi serta menyebabkan penyumbatan terutama pada suction filter sehingga menghambat aliran gas yang akan menuju ke dalam kompresor. Untuk mencegah terbentuknya hidrat pada suction header dapat dilakukan dengan menaikkan aliran gas dari lapangan A dengan tujuan untuk menjaga temperatur aliran pada suction header lebih tinggi daripada temperatur pembentukan hidrat; dalam hal ini dipelukan laju alir gas A sebesar 37,9 MMSCFD (untuk laju alir gas B sebesar 110 MMSCFD). Disamping itu pencegahan hidrat dapat juga dilakukan dengan memasang pemanas pada aliran gas yang keluar dari slug catcher dimana pada laju alir lapangan gas B = 110 MMSCFD, diperlukan temperatur gas keluar dari pemanas sebesar 39,22oF (beban pemanas = 4,427e+6 btu/hr). Jika pencegahan dilakukan dengan menggunakan metanol, diperlukan laju injeksi methanol sebesar 600 USGPD untuk laju alir gas dari lapangan A dan B masing-masing sebesar 23,5 MMSCFD dan 110 MMSCFD.