Perusahaan keluarga merupakan sebuah organisasi yang mengatur dan memelihara keseimbangan manajemen profesional, kepemilikan bisnis, dan dinamika keluarga (Wills D, 2017). Penelitian ini dilaksanakan di salah satu kota berkembang di Jawa Barat, Indonesia. Kota tersebut terkenal dengan makanan tradisionalnya yang juga menjadi sebuah ciri khas kota tersebut. Terdapat 101 perusahaan, baik formal maupun informal, yang bergerak di bidang makanan tradisional di kota tersebut. Maka dari itu, objek penelitian ini adalah salah satu perusahaan tersebut yang telah berhasil untuk bertahan sejak tahun 1957 dengan memperkerjakan 277 karyawan yang bertujuan untuk mengetahui isu-isu yang berhubungan dengan kerluarha yang mungkin bisa memengaruhi produktivitas karyawan dan memahami cara yang efektif untuk mengatur anggota keluarga dan bukan keluarga di perusahaan keluarga. Dibandingkan dengan beberapa perusahaan keluarga lainnya, perusahaan ini pun menghadapi beberapa masalah yang umum terjadi yaitu nepotisme, emosi keluarga yang mengganggu keberlangsungan perusahaan, pertumbuhan karir karyawan bukan anggota keluarga yang terhambat, rencana suksesi yang buruk, kekurangan bakat yang dibutuhkan, dan masalah paternalistik. Beberapa isu tersebut saling berhubungan antar satu dengan lainnya. Di sisi lain, terdapat beberapa isu yang hanya terjadi di perusahaan ini, yaitu isu mengenai kontrak, agama dan tradisi (nilai-nilai tradisi sunda dan islam), kesetiaan, dan kepemimpinan. Kepemimpinan yang pada dasarnya berhubungan dengan isu paternalistik merupakan isu-isu utama yang juga memengaruhi kejadian isu-isu lainnya. Komunikasi intim yang terjadi antara karyawan yang merupakan anggota keluarga dan bukan keluarga pada era manajemen sebelumnya telah membuat perusahaan ini bertahan walaupun tren berubah dikarenakan perusahaan ini mendapatkan banyak karyawan yang setia sebagai manfaat dari cara perusahaan memperlakukan karyawan yang bukan anggota keluarga saat itu sehingga anak-anak mereka yang telah menyelesaikan sekolah pun kembali ke perusahaan ini untuk membantu. Sejak pendirian perusahaan, bisnis ini hanya memiliki divisi personalia yang berfokus pada administrasi karyawan, sedangkan isu ynag berhubungan dengan anggota bukan keluarga diatur oleh divisi SPSI untuk kemudian didiskusikan dengan manajemen, dan isu yang berhubungan dengan anggota keluarga didiskusikan dalam keluarga itu sendiri. Sementara itu, manajemen saat ini memutuskan untuk berubah menjadi lebih profesional dan terstruktur dengan mengurangi beberapa perilaku yang biasa dilakukan manajemen sebelumnya. Maka, perusahaan harus merubah Divisi Personalia menjadi Divisi Sumber Daya Manusia dengan bertindak sebagai employee advocate dan change agent untuk menyelesaikan isu-isu yang memengaruhi produktivitas orang-orang dalam perusahaan (Ulrich, 1997). Employee Advocate akan membantu keluarga dan bukan anggota keluarga untuk melindungi kepentingan mereka dan mengadakan survey mengenai kepuasan karyawan untuk menciptakan lingkungan perusahaan yang positif dengan mengidentifikasi perbedaan antara praktek manajemen, keinginan keluarga, dan ekxpektasi karyawan. Selain itu, Divisi Sumber Daya Manusia sebagai change agent menyediakan latihan dan pengembangan untuk menjadi profesional sehingga bisa menjadikan moral dan keterampilan karyawan lebih baik dan juga untuk mengkomunikasikan visi dan misi perusahaan secara jelas, hal ini pun dibantu oleh HR yang berperan sebagai employee advocate. Fungsi Divisi Sumber Daya Manusia bukan hanya untuk mengurusi administrasi tapi juga untuk menyusun strategi perusahaan untuk meningkatkan produktivitas dengan mengidentifikasi atribut budaya perusahaan yang juga dipaia untuk menyusun rencana suksesi.