digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Ida Ayu Dyah Maharani37014003.pdf
PUBLIC Noor Pujiati.,S.Sos

Bali Aga telah dikenal pada zaman Bali Kuno, yang merupakan awal sejarah Bali berkurun waktu abad ke-8 s.d.13. Keberadaannya yang sebagian besar berada di dataran tinggi, merujuk pada terminologi kata ‘Aga’ yang berarti gunung. Ruang hunian Bali Aga memiliki kemiripan-kemiripan yang tidak sebatas wujud fisik, namun juga pada aktivitas dan gagasan. Sebagai produk dwelling culture, ruang hunian Bali Aga memiliki konsep dan makna sebagai sumber daya dalam perwujudan. Keberadaannya yang telah dikenali pada zaman yang dipimpin oleh Kerajaan Bali Kuno dengan para rajanya dari Dinasti Warmadewa ini, memunculkan pertanyaan adakah prasasti sebagai catatan sejarah yang dibuat oleh para rajanya, yang memiliki peranan dalam mengatur ruang hunian Bali Aga? Keberadaannya yang masih bisa dijumpai hingga saat kini, juga memunculkan pertanyaan, apakah yang menjadikannya mampu bertahan hingga saat kini? Menjadi fenomena yang semakin menarik untuk diteliti ketika konsep yang berasal dari hampir 700 tahun yang lalu ini bisa ditemui sebagai sumber inspirasi pada beberapa hospitality houses modern karya arsitek asing di abad ke-20. Hal ini juga memunculkan pertanyaan kembali, bagaimana para arsitek dan desainer interior dalam memaknai konsep ruang hunian Bali Aga yang berasal dari ratusan tahun sebelumnya? Sebagai langkah awal penelitian ini yaitu merumuskan yang menjadi konsep ruang hunian Bali Aga secara lebih general, melengkapi hasil penelitian ruang hunian Bali Aga yang dilakukan sebelumnya. Penelitian kualitatif bermetode sejarah dilakukan secara diakronik dan sinkronik pada 26 permukiman Bali Aga, yang tersebar pada tiga kabupaten yaitu Bangli, Buleleng dan Karangasem. Permukiman-permukiman Bali Aga yang sebagai lokasi penelitian, dibedakan menjadi kategori permukiman Bali Aga yang telah dikenal pada periode Bali Kuno awal dan akhir, dimana yang menjadi titik tolak pembedanya adalah Prasasti Sembiran C (Caka 1103) yang merupakan satu-satunya prasasti yang berperan besar dalam pengaturan ruang hunian Bali Aga. Penelitian dilakukan pada objek ruang hunian makro berupa lingkungan permukiman, serta mikro berupa pekarangan hunian dan rumah tinggal. Penelitian ini mengungkapkan bagaimana masyarakat Bali Aga dalam memaknai ruang huniannya. Bahwa ruang hunian Bali Aga tercipta tanpa adanya hirarki sistem sosial di dalamnya sehingga bersifat universal. Ruang hunian adalah rumah bagi penghuninya, segala kegiatan berawal dan berakhir di dalamnya. Ruang hunian Bali Aga tercipta dari sebuah upaya problem solving yang sangat antroposentris, menjadikannya berkarakter vernakular. Namun seiring berjalannya waktu, ruang hunian ini masih mampu bertahan hingga masa kini karena adanya sistem adat dan kepercayaan teologis masyarakatnya sehingga menjadikannya berkarakter tradisional. Namun, keberlangsungan dalam memaknai konsep ruang hunian Bali Aga pada masyarakat Bali Aga di masa kini, juga tidak bisa menghingari adanya pergeseran-pergeseran yang berakibat pada perubahan wujud ruang hunian. Terjadinya perubahan-perubahan wujud fisik ruang hunian tidak hanya sebagai upaya adaptasi lingkungan yang sudah berubah, namun juga sebagai akibat adanya pergeseran spirit zaman yang berbeda. Beberapa arsitek dan desainer interior yang menyadari hal tersebut, berupaya merepresentasikan kembali spirit ruang hunian Bali Aga dari zaman asalnya, dengan mengambil bentuk-bentuk ikonik dari wujud ruang hunian Bali Aga yang disesuaikan dengan kebutuhan di masa kini.