Artritis reumatoid (AR) merupakan gangguan autoimun sistemik, ditandai dengan
adanya artritis erosif pada sendi sinovial yang simetris. Penyakit ini menyebabkan
nyeri akibat kerusakan sendi, kegagalan fungsi sendi, dan penurunan kualitas hidup
bahkan kecacatan. Diagnosis awal dan pengendalian AR memberikan fungsi
pemeliharaan dan mencegah terjadinya kecacatan. Cartilage oligomeric matrix
protein (COMP) merupakan biomarker potensial untuk memonitor perkembangan
kerusakan dan cedera kartilago. COMP merupakan senyawa glikoprotein yang
terutama diekspresikan dalam kartilago, tendon, sinovial, dan fibroblas dermal.
Fungsi COMP adalah mengkatalisis fibrilogenesis kolagen. Metode penentuan kadar
COMP yang paling akurat adalah enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA),
tetapi metode ini mahal, memerlukan analis yang terlatih, dan tidak dapat
membedakan oligomer COMP. Metode alternatif untuk solusi masalah tersebut
adalah analisis profil elektroferogram endapan COMP serum yang dapat
memisahkan COMP berdasarkan bobot molekul oligomer. Tujuan penelitian ini
adalah menganalisis profil elektroferogram endapan COMP serum pasien AR dan
individu normal sehingga dapat diaplikasikan untuk telaah marker AR.
Penelitian ini dilakukan setelah mendapatkan persetujuan etik dan izin penelitian dari
Komite Etik Penelitian Kesehatan RSUP Dr Hasan Sadikin Bandung. Pasien AR
pada penelitian ini adalah pasien AR yang berkunjung ke Poliklinik Reumatologi
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan Maret hingga Mei 2016. Sebanyak 50
pasien AR diekslusi, karena memiliki penyakit kronis lain, seperti hipertensi dan
diabetes. Pasien AR yang memenuhi kriteria inklusi hanya 30 orang, maka
digunakan 30 individu normal sebagai pembanding. Pasien AR terdiri atas 4 pria
(13,3%) dan 26 wanita (86,7%) dengan rasio 1:7. Rata-rata usia adalah 44 ± 11 tahun
(rentang 20-64 tahun) untuk pasien AR dan 41 ± 13 tahun (rentang 21-60 tahun)
untuk individu normal. Wawancara dilakukan terhadap pasien AR untuk mengetahui
informasi usia, durasi kekakuan sendi pada pagi hari, jumlah artritis pada 28 sendi
(jari tangan, pergelangan tangan, siku, dan lutut), jumlah artritis pada sendi lengan,
artritis simetris, lama sakit, terapi obat, penyuntikan dan/atau operasi yang pernah
dilakukan, serta anggota keluarga yang memiliki penyakit sendi. Hasil wawancara
diolah untuk menghitung nilai aktivitas penyakit dan menentukan korelasi data hasil
wawancara dengan data serologi yang diperoleh melalui penelitian.
iii
Prevalensi AR tertinggi terjadi pada pasien berusia 46-55 tahun (46,7%). Hasil
wawancara menunjukkan bahwa pasien mengunjungi dokter setelah menyadari
tubuhnya tidak dapat bergerak secara normal. Hal ini menunjukkan bahwa pasien
kurang memiliki pengetahuan atau kesadaran terhadap gejala AR. Rata-rata lama
sakit adalah 57,6 ± 48,3 bulan (rentang 3-204 bulan) dengan frekuensi tertinggi
selama 10-19 bulan (16,7%). Rentang lama sakit sangat lebar dengan kondisi yang
bervariasi, bahkan cenderung membaik karena kepatuhan pasien dalam
mengkonsumsi obat. Sebanyak 93,3% pasien diberi terapi DMARD (Disease
Modifying Anti-Rheumatic Drugs), AINS (anti inflamasi non steroid), dan analgesik.
Pemantauan inflamasi pada pasien AR secara rutin dilakukan melalui penentuan laju
endap darah (LED). Nilai LED ditentukan menggunakan metode Westergren. Nilai
LED pasien AR adalah 22,0 ± 13,0 mm/jam untuk pria dan 30,8 ± 11,1 mm/jam
untuk wanita. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan nilai LED individu normal.
Nilai LED dan kondisi sendi pasien digunakan untuk menghitung nilai aktivitas
penyakit (NAP). Rata-rata NAP adalah 3,4 ± 0,2, yaitu kategori aktivitas artritis
yang moderat. Hal ini disebabkan pasien telah mendapatkan terapi obat, bahkan
tindakan medis berupa kortikosteroid intramuskular, operasi sendi, ataupun
kombinasi keduanya.
Faktor reumatoid (FR) merupakan autoantibodi pertama yang ditemukan
berhubungan dengan AR. Penentuan FR dilakukan menggunakan metode aglutinasi
lateks. Hasil RF positif ditemukan pada 86,7% pasien AR dan 23,3% individu
normal. Individu normal memberikan hasil FR positif karena FR memberikan hasil
positif untuk penyakit autoimun lain, selain AR, sedangkan pada penelitian ini, tidak
dilakukan pemeriksaaan penyakit autoimun lain.
Pemantauan inflamasi juga dapat dilakukan melalui penentuan kadar protein total,
karena sistem imun melepaskan protein fase akut, yang tidak terjadi pada individu
normal. Kadar protein total ditentukan dengan metode kolorimetri menggunakan
pereaksi Bradford. Kadar protein total adalah 104,7 ± 16,3 mg/mL (rentang 64,95-
131,26 mg/mL) pada pasien AR dan 92,3 ± 14,5 mg/mL (rentang 58,11-116,53
mg/mL) pada individu normal. Kadar protein total pasien AR dan individu normal
berbeda secara signifikan (p = 0,02).
Pasien AR lebih berisiko kehilangan tulang dan fraktur karena inaktivasi fungsi sendi
dan terapi glukokortikoid. Kadar kalsium total ditentukan dengan metode kolorimetri
menggunakan pereaksi mureksid. Kadar kalsium total pasien AR (75,3 ± 37,4
μg/mL) lebih rendah dibandingkan dengan individu normal (81,5 ± 39,6 μg/mL),
tetapi tidak ada perbedaan yang signifikan (p = 0,56). Hal ini disebabkan seluruh
pasien AR memperoleh suplemen kalsium karbonat untuk mempertahankan kadar
kalsium dalam tubuh.
Kadar COMP serum ditentukan dengan metode ELISA. Kadar COMP serum pasien
AR (873,2 ± 165,6 ng/mL) lebih rendah dibandingkan dengan individu normal
(927,4 ± 90,4 ng/mL), tetapi tidak ada perbedaan yang signifikan (p = 0,15). Hal ini
disebabkan kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat. Alasan lain adalah
banyaknya protein lain yang mengganggu interaksi COMP dengan kit ELISA.
iv
Sehingga diperlukan pemisahan COMP, kemudian dilakukan elektroforesis untuk
menentukan bentuk oligomer COMP.
Serum subjek memiliki pH 7,54 ± 0,16 untuk pasien AR dan 7,42 ± 0,12 untuk
individu normal. COMP diendapkan pada pH isoelektriknya, yaitu 4,36 ± 0,01.
Endapan COMP dilarutkan dan dikarakterisasi meliputi penentuan kadar protein
total, kalsium, COMP, dan analisis profil elektroferogram. Kadar kalsium tidak
terdeteksi dengan metode kolorimetri. Kadar protein total dalam endapan COMP
lebih rendah dibandingkan dalam serum. Hal ini menunjukkan pemisahan
berdasarkan pH isoelektrik berhasil memisahkan COMP dari protein lain dalam
serum, tetapi pemisahan belum sempurna. Hal ini diamati dari kadar COMP dalam
endapan COMP hanya meningkat 26,4 ± 2,6% pada pasien AR dan 17,1 ± 4,1% pada
individu normal. Kadar protein total dalam endapan COMP pasien AR dan individu
normal tidak berbeda secara signifikan (p = 0,19), sedangkan kadar COMP berbeda
secara signifikan (p = 0,52 x 10-5). Hal ini menunjukkan bahwa pengendapan pada
pH isoelektrik meningkatkan sensitivitas pengukuran.
Pengendapan pada pH isoelektrik diperlukan untuk mendapatkan profil
elektroferogram yang lebih baik, karena memisahkan COMP dari protein lain dalam
serum. Metode elektroforesis dapat memisahkan COMP berdasarkan bentuk
oligomernya. Hal ini diamati dari profil elektroferogram COMP yang maksimal
memberikan lima pita, yaitu pentamer, tetramer, trimer, dimer, dan monomer.
Intensitas pita pentamer teramati lebih tinggi dibandingkan dengan pita oligomer
lainnya. Profil elektroferogram pasien AR didominasi oleh pita pentamer dan dimer,
sedangkan profil elektroferogram individu normal didominasi oleh pita tetramer,
trimer, dan dimer. Profil elektroferogram pasien AR dapat dibedakan dari individu
normal. Hal ini merupakan keunggulan metode elektroforesis dibandingkan dengan
ELISA. Penelitian ini menyimpulkan bahwa profil elektroferogram COMP dapat
digunakan untuk telaah marker AR.