digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Krisis bahan bakar cair di Indonesia semakin terasa akibat pengelolaan energi yang tidak tepat, untuk menjaga stabilitas sistem energi nasional, khususnya penyediaan pasokan bahan bakar cair, pemerintah menetapkan berlakunya Undang-Undang nomor 30 tahun 2007 yang menyatakan perlunya tindakan intensifikasi, diversifikasi, dan konservasi. Upaya diversifikasi sempat marak dilakukan dengan memanfaatkan tumbuhan ekosistem darat sebagai bahan baku biodiesel, bio-oil, dan bioetanol. Pada perkembangannya upaya ini menghadapi kendala, baik teknis, kebijakan, maupun tata niaga. Sementara itu, blue print bauran energi nasional menetapkan target kontribusi dari biofuel pada tahun 2025 sebesar 5%. Perhatian terhadap biomassa ekosistem laut khususnya alga mulai diberikan, tetapi pemanfaatannya dalam penyediaan bahan bakar cair belum dapat dilakukan. Penelusuran permasalahan kebijakan yang menghambat penyediaan biomassa ekosistem laut, khususnya alga, sebagai bahan baku biofuel dilakukan dalam penelitian ini. Metode yang digunakan merupakan perpaduan metode kualitatif dan kuantitaf dengan analisis rasional berdasarkan hubungan antar aktor yang berperan dalam penyediaan alga sebagai bahan baku biofuel. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan alternatif penyelesaian permasalahan kebijakan yang teridentifikasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa permasalahan kebijakan dalam konteks penyediaan alga sebagai bahan baku biofuel adalah : (1) tidak ada regulasi yang mendukung penelitian dan pengembangan teknologi pengolahan biofuel dari alga sehingga terdapat kendala penyediaan dana penelitian, (2) tidak ada regulasi yang mendukung pemanfaatan biomassa laut untuk sektor energi, (3) tidak ada perencanaan yang jelas dan rinci dalam aktivitas penelitian dan pengembangan alga untuk bioenergi sehingga penyediaan teknologi pengolahan alga menjadi biofuel terhambat, serta (4) lemahnya koordinasi antar lembaga terkait. Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari penelitian ini adalah dari aspek kealaman, alga menunjukkan potensi untuk dibudidayakan, direkayasa, dan diolah menjadi biofuel. Sebaran alga merata di seluruh propinsi di Indonesia, sehingga pengelolaan, pemanfaatan, dan pengembangannya dapat dilakukan disetiap wilayah pesisir dengan memperhatikan karakteristik sumber daya alga yang dimiliki agar teknologi yang dihasilkan tepat guna dan produk olahannya dapat dinikmati sendiri oleh masyarakat. Teknologi pengolahan alga menjadi biofuel Indonesia cukup tertinggal dari negara lain, bahkan kegiatan litbang yang telah berjalan menghadapi kendala pendanaan yang semakin mendesak sehingga terancam semakin lambat atau bahkan terhenti. Analisis dengan perspektif ekosistem terhadap konektifitas antar aktor dalam konteks penelitian ini memberikan sebuah strategi sebagai alternatif solusi terhadap permasalahan yang teridentifikasi, yaitu implementasi yang konsisten dan utuh Undang-Undang nomor 30 tahun 2007, semestinya UU ini bersifat perintah (wajib), mengandung ancaman (punishment) jika diabaikan, dan imbalan (reward) berupa insentif jika dilakukan upaya untuk mendukung sistem energi nasional. Penguatan terhadap UU ini dapat menggerakkan beberapa lembaga untuk berlomba sebagai agen perubahan dalam interaksi antar aktor dalam pemanfaatan alga sebagai biofuel. Beberapa inisiator yang berpeluang adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek), perusahaan swasta, dan komunitas ahli.