digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Pada Wilayah Metropolitan Bandung, Kota Bandung dan Kota Cimahi ditetapkan sebagai kota inti dengan beberapa kota satelit yang berfungsi sebagai countermagnet pertumbuhan dan perkembangan dari kota inti sehingga dapat membantu daya dukung kota inti itu sendiri. Berdasarkan hal itu pula maka tentunya akan tercipta interaksi fungsional dan spasial antara kota inti dan kota-kota satelitnya. Hal tersebut akan berimplikasi terhadap munculnya beberapa aktivitas seperti perumahan, industri, komersial, d.l.l. di sepanjang koridor jalan ataupun disekitarnya. Pertumbuhan aktivitas tersebut ternyata cenderung menjadi tidak terarah atau bersifat acak (sprawl) dan bersifat menerus (konurbasi) terutama di sepanjang koridor antara Kota Bandung-Soreang. Pertumbuhan yang tidak terarah atau bersifat acak tersebut, direspon dengan adanya kebijakan pemanfaatan ruang Metropolitan Bandung yang menyebutkan bahwa salah satu strategi pengembangan pusat-pusat permukiman di Metropolitan Bandung adalah dengan mengendalikan pertumbuhan aktivitas perkotaan di kawasan pinggiran dan juga pertumbuhan yang bersifat menerus.Pertumbuhan aktivitas yang tidak terarah atau bersifat acak, menyebabkan terjadinya konversi lahan pertanian irigasi teknis yang banyak terdapat di Kawasan Pinggiran Bandung bagian selatan. Dalam arahan pemanfaatan ruang Kabupaten Bandung yang tercantum pada RTRW Kabupaten Bandung tahun 2006-2026 dapat diketahui bahwa peralihan fungsi lahan dari lahan pertanian irigasi teknis menjadi lahan permukiman adalah tidak diizinkan. Persoalan lainnya yang timbul adalah pola pergerakan penduduk yang masih berorientasi ke kota inti. Ketergantungan terhadap kota inti pada dasarnya disebabkan oleh belum optimalnya peran dari kota-kota satelit dalam melayani wilayah sekitarnya.Penelitian tentang potensi kompaksi permukiman di Kawasan Pinggiran Bandung bagian selatan pada dasarnya bertujuan untuk mengidentifikasi desa-desa yang berpotensi untuk diterapkan kompaksi permukiman yang diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam peminimalan implikasi negatif dari sprawl yaitu konversi lahan pertanian dan ketergantungan terhadap kota inti.Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa tingkat pendapatan yang rendah dan jarak yang sedang dari tempat tinggal ke kota inti, menyebabkan penghuni perumahan cenderung untuk melakukan aktivitasnya pada radius yang relatif dekat dari tempat tinggal. Sedangkan dengan tingkat pendapatan yang sedang-tinggi, jarak perumahan yang dekat ke kota inti, dan kelengkapan fasilitas perumahan yang minim, menyebabkan penghuni perumahan cenderung melakukan aktivitasnya ke kota inti. Kelengkapan fasilitas perumahan yang tinggi dapat meminimalkan pergerakan ke kota inti untuk aktivitas tertentu seperti aktivitas belanja. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa terdapat tiga klasifikasi desa, yaitu desa-desa yang tidak berpotensi (dari sisi aturan tata ruang) untuk diterapkan kompaksi, desa-desa yang berpotensi dari sisi aturan namun belum memenuhi kebutuhan masyarakat dan pengembang, serta desa-desa yang berpotensi baik berdasarkan aturan tata ruang, kebutuhan masyarakat, maupun kebutuhan pengembang, telah sesuai.