Konsumsi bola baja di divisi Concentrating PT Freeport Indonesia jumlahnya sangat tinggi dan bervariasi setiap tahunnya tergantung pada jumlah bijih tambang yang
diproses. Saat ini kebutuhan bola-bola baja sebagai media penggilingan dipenuhi dengan cara membeli bola baja baru dan hanya sebagian kecil sisanya didapatkan
melalui proses daur ulang. Proses daur ulang saat ini hanya terbatas mengolah bolabola baja bekas berdiameter +50mm dari SAG Mill untuk dipergunakan kembali sebagai media penggilingan pada Ball Mill, sedangkan pada alat penggilingan lain masih sepenuhnya mempergunakan bola baja baru. Saat ini divisi Concentrating telah memiliki mesin pendaur ulang bola baja, akan tetapi mesin pendaur ulang bola baja ini memiliki berbagai keterbatasan, diantaranya jumlah bola baja yang dihasilkan masih sangat sedikit dan hanya dapat mendaur ulang bola baja bekas dari SAG Mill sedangkan saat ini bola-bola baja bekas ball mill yang jumlahnya sangat besar dan umumnya berdiameter 15-50mm masih belum dimanfaatkan dan masih dibiarkan terbuang.
Solusi yang ditawarkan melalui proyek akhir ini adalah dengan cara membangun fasilitas mesin baru terutama untuk dapat mendaur ulang bola baja berukuran 15-50mm. Alternatif pilihannya antara lain dengan membangun mesin automatis, memodifikasi mesin saat ini atau membangun mesin baru di Area Penggilingan.
Dari tiga alternatif peningkatan kapasitas mesin pendaur ulang bola baja bekas yang ditawarkan, melalui teknik decision tree anaysis alternatif 2 yaitu memodifikasi mesin pendaur ulang saat ini merupakan pilihan yang paling disarakan, hal ini setelah ditinjau dari beberapa aspek finansial yaitu Cash flow, Payback Period, NPV, IRR, Profitability Index serta melalui analisis penghematan menunjukkan hasil yang lebih baik. Dari analisa Payback Period Alternatif 2 memberikan pengembalian terhadap investasi awal selama 0,4 - 0,7 tahun, NPV 848 ribu - 15 juta dollar, IRR 2 - 271% serta
Profitability Index 0,73–13,17. Dari hasil analisis juga menunjukkan bahwa keunggulan dari alternatif ini terutama disebabkan karena biaya investasi serta energi listrik yang dikonsumsi relatif rendah.