Di Indonesia setiap tahun kebutuhan akan energi listrik selalu meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Sebagian besar energi listrik ini dihasilkan menggunakan bahan bakar fosil, diantaranya adalah batubara. Namun, sumber batubara adalah terbatas, sehingga diperlukan alternatif bahan bakar yang lain. Selain dari permasalahan ketersediaan bahan bakar tersebut, jumlah sampah domestik juga semakin meningkat dan sangat komplek dalam pengelolaannya. Salah satu solusi untuk menyelesaikan kedua permasalahan ini adalah dengan menggunakan sampah bersama batubara sebagai bahan bakar sehingga penggunaan batubara menjadi berkurang. Karena sampah memiliki nilai kalor yang rendah dan kelembaban yang tinggi apabila digunakan sebagai bahan bakar, maka sampah harus diolah. Salah satu cara pengolahan sampah adalah menggunakan proses hidrotermal. Proses hidrotermal yang dilakukan hanya dalam skala laboratoriumm, yaitu dengan menggunakan sampah yang terdapat di kota Bandung pada temperatur proses 215 oC dan tekanan 20 bar. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa waktu dan jumlah air yang digunakan pada proses hidrotermal berpengaruh pada komposisi proksimat. Pengaruhnya adalah kandungan air lembab dan zat terbang yang dimiliki sampah mengalami penurunan dan karbon padatnya meningkat sehingga dapat meningkatkan nilai kalor sampah. Dari hasil pengujian ultimat, terlihat bahwa proses hidrotermal menghasilkan sampah dengan komposisi fraksi massa: 65,37% karbon total, 5,63% hidrogen total, 2,75% nitrogen total, 0,1499% sulfur, 2,70% abu, dan 23,39% oksigen.