digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

1993 TS PP ALBERTUS SIDHARTA MULJADINATA 1-COVER.pdf


1993 TS PP ALBERTUS SIDHARTA MULJADINATA 1-BAB 1.pdf

1993 TS PP ALBERTUS SIDHARTA MULJADINATA 1-BAB 2.pdf

1993 TS PP ALBERTUS SIDHARTA MULJADINATA 1-BAB 3.pdf

1993 TS PP ALBERTUS SIDHARTA MULJADINATA 1-BAB 4.pdf

1993 TS PP ALBERTUS SIDHARTA MULJADINATA 1-BAB 5.pdf

1993 TS PP ALBERTUS SIDHARTA MULJADINATA 1-BAB 6.pdf

1993 TS PP ALBERTUS SIDHARTA MULJADINATA 1-PUSTAKA.pdf

Dalam upaya penjajagan strategi perencanaan suatu kota maka mendalami sejarah pembentukan dan perkembangan kota tersebut merupakan suatu langkah yang seyogyanya dilakukan. Fenomena yang ada menunjukkan bahwa pesatnya pembangunan kota mengakibatkan lingkungan kota memiliki kepadatan yang cukup tinggi, di samping keadaan organisasi visual yang tidak beraturan; ruang-ruang terbuka misalnya alun-alun yang sejak dulu ada dan merupakan bagian perencanaan kota Hindia Belanda, bahkan ada yang sengaja 'beralih fungsi' untuk kemudian diganti dengan suatu bangunan pada lahan tersebut (kasus Semarang). Oleh karena itu seyogyanya kehadiran bangunan-bangunan baru harus memperhatikan keadaan yang sudah ada dan mengacu pada rencana induk kota sehingga akan tercipta bentang kota yang baik. Struktur dan pola fisik ruang kota merupakan suatu tatanan spatial yang utuh.Namun persepsi spatial yang dulu dimiliki oleh para tokoh perencana kota (salah satunya Karsten) boleh jadi mempunyai perbedaan dengan persepsi spatial masa kini yang dilihat dan dirasakan oleh para tokoh perencana kota masa kini. Jadi dalam hal ini perlu adanya suatu pemahaman dari konsep yang telah ada dan selanjutnya perlu dilakukan penyesuaian dan modifikasi agar dapat diterapkan sekarang. Selanjutnya perlu adanya suatu tekad untuk membuat suatu perencanaan yang bersifat totalitas sehingga ia akan menjadi pedoman dalam setiap langkah yang akan mempengaruhi bentuk tatanan kota yang baik, sesuai dengan yang telah digariskan. Namun secara totalitas memerlukan campur tangan para tokoh perencana kota dan birokrat yang berwenang membuat kebijaksanaan peraturan penataan kota. Mereka dituntut untuk memiliki sikap dan wibawa dalam melaksanakan tugasnya. Dengan demikian konsep perencanaan kota yang diimbangi dengan peraturan penataan bangunan merupakan dua unsur yang seiring sejalan untuk mengatur dan mengendalikan pengembangan dan perkembangan suatu kota sehubungan dengan adanya tendensi pertumbuhan ekonomi kota yang berhubungan langsung dengan keadaan sosial ekonomi suatu kota. Untuk kota Semarang, Karsten telah membuat 'racikan' yang baik, yang telah dipikirkannya untuk perkembangan kota Semarang berikutnya. Namun sebelum, semuanya terlaksana, Indonesia telah merdeka dan peran Karsten diganti oleh perencana kits yang 'belum siap' melakukan pembenahan dalam banyak bidang secara langsung termasuk dalam bidang penataan kota. Sehingga kemudian terjadi kecenderungan-kecenderungan berubahnya pelaksanaan dari rencana yang telah disiapkan oleh Karsten, belum lagi pertumbuhan ekonomi kota yang sangat pesat menambah kecenderungan-kecenderungan tersebut. Malta pemahaman terhadap konsep Karsten diharapkan akan menutup kekurangan ini untuk mencapai hasil yang lebih baik.