digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Tina Ernieta Tioria Verelina N
PUBLIC Open In Flipbook Roosalina Vanina Viyazza

Terdapat kekhawatiran global yang semakin meningkat bahwa sistem pangan saat ini tidak berkelanjutan dan bahwa produsen berskala kecil, meskipun memegang peran sentral, menghadapi berbagai keterbatasan yang disebabkan oleh kemiskinan, akses layanan yang terbatas, dan ketimpangan struktural dalam pasar. Fairtrade, sebagai sebuah standar keberlanjutan yang bersifat sukarela dan bekerja dalam skala global, berupaya mengatasi sebagian ketimpangan tersebut dengan menyediakan harga minimum yang terjamin dan tambahan Fairtrade Premium yang ditujukan untuk pembangunan sosial- ekonomi dan lingkungan jangka panjang. Namun, bukti lapangan menunjukkan bahwa hasil yang dicapai antar organisasi sangat bervariasi, dan penggunaan serta dampak Fairtrade Premium sangat bergantung pada tata kelola internal, representasi, dan proses pengambilan keputusan. Penelitian ini menjawab kebutuhan praktis untuk memahami dinamika internal tersebut dengan berfokus pada satu koperasi kopi tersertifikasi Fairtrade di Aceh yang pernah mengalami krisis tata kelola, pencabutan sertifikasi, dan sertifikasi ulang terkait pengelolaan Fairtrade Premium. Penelitian ini dipandu oleh beberapa dugaan, yaitu bahwa para aktor koperasi membuat keputusan dengan informasi yang terbatas; bahwa norma, aturan, dan dinamika kelompok membentuk bagaimana sesuatu ditafsirkan; bahwa struktur tata kelola koperasi dan relasi kekuasaan memengaruhi siapa yang berpartisipasi dan siapa yang menetapkan agenda; dan bahwa faktor-faktor tersebut secara kolektif menentukan bagaimana keputusan dinegosiasikan dalam rapat dan akhirnya menghasilkan pola alokasi Fairtrade Premium. Penelitian ini menggunakan desain studi kasus tunggal dengan pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan melalui analisis dokumen terhadap Rencana Pengembangan Fairtrade (Fairtrade Development Plan) dan notulen rapat, serta melalui wawancara semi-terstruktur dengan 12 partisipan yang mewakili petani, delegasi, pengurus, pengawas, dan Komite Premium. Analisis data mengikuti proses bertahap yang menggabungkan analisis tematik untuk mengidentifikasi pola makna, analisis naratif untuk memahami bagaimana para aktor menafsirkan dan membenarkan keputusan, serta Triple-Layer Business Model Canvas (TLBMC) untuk memetakan aktivitas yang didanai Fairtrade Premium pada dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan. Pendekatan sistem (system thinking) digunakan untuk mengintegrasikan temuan ke dalam loop penguatan (reinforcing loops) yang menunjukkan bagaimana tata kelola, transparansi, kapasitas, ketergantungan pasar, dan persepsi iklim saling memengaruhi dari waktu ke waktu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alokasi Fairtrade Premium dijalankan melalui struktur demokratis formal, tetapi dibentuk dalam praktik oleh kesenjangan kapasitas, informasi yang asimetris, dan kekuatan dalam menentukan agenda yang berada pada manajemen. Delegasi diakui sebagai pengambil keputusan tertinggi, tetapi literasi yang rendah dan pemahaman yang tidak merata tentang aturan Fairtrade membuat mereka bergantung pada manajemen. Studi ini juga menemukan bahwa para delegasi tidak menyadari bahwa standar Fairtrade mewajibkan mereka untuk menyetujui seluruh anggaran Fairtrade Premium. Dalam praktiknya, mereka hanya membahas bagian yang disampaikan kepada mereka, sementara alokasi utama, termasuk program yang didorong oleh pembeli dan biaya operasional, masuk ke dalam Fairtrade Development Plan tanpa pengawasan demokratis. Hal ini menghasilkan pola tata kelola di mana keputusan tampak demokratis, tetapi secara substantif telah disaring sebelum mencapai Rapat Anggota. Hal ini menghasilkan pola tata kelola yang tampak demokratis, namun secara substantif sudah tersaring sebelum mencapai Rapat Anggota. Pola alokasi sangat memihak pada manfaat jangka pendek yang bersifat individual, seperti kebutuhan pokok dan alat kecil, dibandingkan investasi jangka panjang, adalah akibat dari harapan atas manfaat langsung, kekecewaan terhadap pengelolaan organisasi di masa lalu, dan rendahnya kesadaran risiko iklim di kalangan petani, yang sering menafsirkan gangguan lingkungan sebagai sesuatu yang alami dan tak terhindarkan. Perbedaan persepsi risiko antara pemimpin dan anggota semakin membatasi perencanaan jangka panjang. Narasi yang digunakan untuk membenarkan keputusan Fairtrade Premium bervariasi antar kelompok aktor: petani memandang Fairtrade Premium sebagai hak yang layak diterima, delegasi menekankan aturan mayoritas dan keadilan, pengurus menggunakan argumen teknis dan strategis, sementara pengawas menyoroti masalah transparansi dan kepercayaan. Kelemahan tata kelola, peran yang tidak jelas, pengawasan yang terbatas, dan ketakutan terhadap konflik, memperkuat orientasi jangka pendek dan memperdalam ketergantungan pada satu pembeli, sementara tekanan finansial mendorong koperasi menggunakan Premium sebagai dukungan operasional, bukan investasi strategis. Penelitian ini memberikan kontribusi pada literatur tata kelola koperasi dan keberlanjutan dengan menunjukkan bagaimana dinamika sistem yang saling menguatkan, kesenjangan kapasitas, ketidakadalaan transparansi, preferensi jangka pendek, ketergantungan pada pembeli, dan normalisasi risiko iklim—membentuk keputusan penggunaan Fairtrade Premium pada koperasi yang bersertifikasi Fairtrade. Secara praktis, penelitian ini menawarkan titik ungkit dan rencana implementasi yaTerdapat kekhawatiran global yang semakin meningkat bahwa sistem pangan saat ini tidak berkelanjutan dan bahwa produsen berskala kecil, meskipun memegang peran sentral, menghadapi berbagai keterbatasan yang disebabkan oleh kemiskinan, akses layanan yang terbatas, dan ketimpangan struktural dalam pasar. Fairtrade, sebagai sebuah standar keberlanjutan yang bersifat sukarela dan bekerja dalam skala global, berupaya mengatasi sebagian ketimpangan tersebut dengan menyediakan harga minimum yang terjamin dan tambahan Fairtrade Premium yang ditujukan untuk pembangunan sosial- ekonomi dan lingkungan jangka panjang. Namun, bukti lapangan menunjukkan bahwa hasil yang dicapai antar organisasi sangat bervariasi, dan penggunaan serta dampak Fairtrade Premium sangat bergantung pada tata kelola internal, representasi, dan proses pengambilan keputusan. Penelitian ini menjawab kebutuhan praktis untuk memahami dinamika internal tersebut dengan berfokus pada satu koperasi kopi tersertifikasi Fairtrade di Aceh yang pernah mengalami krisis tata kelola, pencabutan sertifikasi, dan sertifikasi ulang terkait pengelolaan Fairtrade Premium. Penelitian ini dipandu oleh beberapa dugaan, yaitu bahwa para aktor koperasi membuat keputusan dengan informasi yang terbatas; bahwa norma, aturan, dan dinamika kelompok membentuk bagaimana sesuatu ditafsirkan; bahwa struktur tata kelola koperasi dan relasi kekuasaan memengaruhi siapa yang berpartisipasi dan siapa yang menetapkan agenda; dan bahwa faktor-faktor tersebut secara kolektif menentukan bagaimana keputusan dinegosiasikan dalam rapat dan akhirnya menghasilkan pola alokasi Fairtrade Premium. Penelitian ini menggunakan desain studi kasus tunggal dengan pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan melalui analisis dokumen terhadap Rencana Pengembangan Fairtrade (Fairtrade Development Plan) dan notulen rapat, serta melalui wawancara semi-terstruktur dengan 12 partisipan yang mewakili petani, delegasi, pengurus, pengawas, dan Komite Premium. Analisis data mengikuti proses bertahap yang menggabungkan analisis tematik untuk mengidentifikasi pola makna, analisis naratif untuk memahami bagaimana para aktor menafsirkan dan membenarkan keputusan, serta Triple-Layer Business Model Canvas (TLBMC) untuk memetakan aktivitas yang didanai Fairtrade Premium pada dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan. Pendekatan sistem (system thinking) digunakan untuk mengintegrasikan temuan ke dalam loop penguatan (reinforcing loops) yang menunjukkan bagaimana tata kelola, transparansi, kapasitas, ketergantungan pasar, dan persepsi iklim saling memengaruhi dari waktu ke waktu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alokasi Fairtrade Premium dijalankan melalui struktur demokratis formal, tetapi dibentuk dalam praktik oleh kesenjangan kapasitas, informasi yang asimetris, dan kekuatan dalam menentukan agenda yang berada pada manajemen. Delegasi diakui sebagai pengambil keputusan tertinggi, tetapi literasi yang rendah dan pemahaman yang tidak merata tentang aturan Fairtrade membuat mereka bergantung pada manajemen. Studi ini juga menemukan bahwa para delegasi tidak menyadari bahwa standar Fairtrade mewajibkan mereka untuk menyetujui seluruh anggaran Fairtrade Premium. Dalam praktiknya, mereka hanya membahas bagian yang disampaikan kepada mereka, sementara alokasi utama, termasuk program yang didorong oleh pembeli dan biaya operasional, masuk ke dalam Fairtrade Development Plan tanpa pengawasan demokratis. Hal ini menghasilkan pola tata kelola di mana keputusan tampak demokratis, tetapi secara substantif telah disaring sebelum mencapai Rapat Anggota. Hal ini menghasilkan pola tata kelola yang tampak demokratis, namun secara substantif sudah tersaring sebelum mencapai Rapat Anggota. Pola alokasi sangat memihak pada manfaat jangka pendek yang bersifat individual, seperti kebutuhan pokok dan alat kecil, dibandingkan investasi jangka panjang, adalah akibat dari harapan atas manfaat langsung, kekecewaan terhadap pengelolaan organisasi di masa lalu, dan rendahnya kesadaran risiko iklim di kalangan petani, yang sering menafsirkan gangguan lingkungan sebagai sesuatu yang alami dan tak terhindarkan. Perbedaan persepsi risiko antara pemimpin dan anggota semakin membatasi perencanaan jangka panjang. Narasi yang digunakan untuk membenarkan keputusan Fairtrade Premium bervariasi antar kelompok aktor: petani memandang Fairtrade Premium sebagai hak yang layak diterima, delegasi menekankan aturan mayoritas dan keadilan, pengurus menggunakan argumen teknis dan strategis, sementara pengawas menyoroti masalah transparansi dan kepercayaan. Kelemahan tata kelola, peran yang tidak jelas, pengawasan yang terbatas, dan ketakutan terhadap konflik, memperkuat orientasi jangka pendek dan memperdalam ketergantungan pada satu pembeli, sementara tekanan finansial mendorong koperasi menggunakan Premium sebagai dukungan operasional, bukan investasi strategis. Penelitian ini memberikan kontribusi pada literatur tata kelola koperasi dan keberlanjutan dengan menunjukkan bagaimana dinamika sistem yang saling menguatkan, kesenjangan kapasitas, ketidakadalaan transparansi, preferensi jangka pendek, ketergantungan pada pembeli, dan normalisasi risiko iklim—membentuk keputusan penggunaan Fairtrade Premium pada koperasi yang bersertifikasi Fairtrade. Secara praktis, penelitian ini menawarkan titik ungkit dan rencana implementasi yang berfokus pada peningkatan kapasitas delegasi, reformasi transparansi, dan peningkatan kesadaran risiko iklim untuk memperkuat tata kelola Fairtrade Premium jangka panjang. Temuan ini menegaskan pentingnya menyelaraskan struktur demokratis dengan kapasitas pengambilan keputusan yang nyata, memperbaiki aliran informasi, dan membangun orientasi jangka panjang agar Fairtrade Premium dapat memenuhi fungsi pembangunan yang dimaksudkan.ng berfokus pada peningkatan kapasitas delegasi, reformasi transparansi, dan peningkatan kesadaran risiko iklim untuk memperkuat tata kelola Fairtrade Premium jangka panjang. Temuan ini menegaskan pentingnya menyelaraskan struktur demokratis dengan kapasitas pengambilan keputusan yang nyata, memperbaiki aliran informasi, dan membangun orientasi jangka panjang agar Fairtrade Premium dapat memenuhi fungsi pembangunan yang dimaksudkan.