Terdapat kekhawatiran global yang semakin meningkat bahwa sistem pangan
saat ini tidak berkelanjutan dan bahwa produsen berskala kecil, meskipun
memegang peran sentral, menghadapi berbagai keterbatasan yang disebabkan
oleh kemiskinan, akses layanan yang terbatas, dan ketimpangan struktural
dalam pasar. Fairtrade, sebagai sebuah standar keberlanjutan yang bersifat
sukarela dan bekerja dalam skala global, berupaya mengatasi sebagian
ketimpangan tersebut dengan menyediakan harga minimum yang terjamin
dan tambahan Fairtrade Premium yang ditujukan untuk pembangunan sosial-
ekonomi dan lingkungan jangka panjang. Namun, bukti lapangan
menunjukkan bahwa hasil yang dicapai antar organisasi sangat bervariasi, dan
penggunaan serta dampak Fairtrade Premium sangat bergantung pada tata
kelola internal, representasi, dan proses pengambilan keputusan. Penelitian
ini menjawab kebutuhan praktis untuk memahami dinamika internal tersebut
dengan berfokus pada satu koperasi kopi tersertifikasi Fairtrade di Aceh yang
pernah mengalami krisis tata kelola, pencabutan sertifikasi, dan sertifikasi
ulang terkait pengelolaan Fairtrade Premium.
Penelitian ini dipandu oleh beberapa dugaan, yaitu bahwa para aktor koperasi
membuat keputusan dengan informasi yang terbatas; bahwa norma, aturan,
dan dinamika kelompok membentuk bagaimana sesuatu ditafsirkan; bahwa
struktur tata kelola koperasi dan relasi kekuasaan memengaruhi siapa yang
berpartisipasi dan siapa yang menetapkan agenda; dan bahwa faktor-faktor
tersebut secara kolektif menentukan bagaimana keputusan dinegosiasikan
dalam rapat dan akhirnya menghasilkan pola alokasi Fairtrade Premium.
Penelitian ini menggunakan desain studi kasus tunggal dengan pendekatan
kualitatif. Data dikumpulkan melalui analisis dokumen terhadap Rencana
Pengembangan Fairtrade (Fairtrade Development Plan) dan notulen rapat,
serta melalui wawancara semi-terstruktur dengan 12 partisipan yang mewakili
petani, delegasi, pengurus, pengawas, dan Komite Premium. Analisis data
mengikuti proses bertahap yang menggabungkan analisis tematik untuk
mengidentifikasi pola makna, analisis naratif untuk memahami bagaimana
para aktor menafsirkan dan membenarkan keputusan, serta Triple-Layer
Business Model Canvas (TLBMC) untuk memetakan aktivitas yang didanai
Fairtrade Premium pada dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Pendekatan sistem (system thinking) digunakan untuk mengintegrasikan
temuan ke dalam loop penguatan (reinforcing loops) yang menunjukkan
bagaimana tata kelola, transparansi, kapasitas, ketergantungan pasar, dan
persepsi iklim saling memengaruhi dari waktu ke waktu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa alokasi Fairtrade Premium dijalankan
melalui struktur demokratis formal, tetapi dibentuk dalam praktik oleh
kesenjangan kapasitas, informasi yang asimetris, dan kekuatan dalam
menentukan agenda yang berada pada manajemen. Delegasi diakui sebagai
pengambil keputusan tertinggi, tetapi literasi yang rendah dan pemahaman
yang tidak merata tentang aturan Fairtrade membuat mereka bergantung pada
manajemen. Studi ini juga menemukan bahwa para delegasi tidak menyadari
bahwa standar Fairtrade mewajibkan mereka untuk menyetujui seluruh
anggaran Fairtrade Premium. Dalam praktiknya, mereka hanya membahas
bagian yang disampaikan kepada mereka, sementara alokasi utama, termasuk
program yang didorong oleh pembeli dan biaya operasional, masuk ke dalam
Fairtrade Development Plan tanpa pengawasan demokratis. Hal ini
menghasilkan pola tata kelola di mana keputusan tampak demokratis, tetapi
secara substantif telah disaring sebelum mencapai Rapat Anggota. Hal ini
menghasilkan pola tata kelola yang tampak demokratis, namun secara
substantif sudah tersaring sebelum mencapai Rapat Anggota. Pola alokasi
sangat memihak pada manfaat jangka pendek yang bersifat individual, seperti
kebutuhan pokok dan alat kecil, dibandingkan investasi jangka panjang,
adalah akibat dari harapan atas manfaat langsung, kekecewaan terhadap
pengelolaan organisasi di masa lalu, dan rendahnya kesadaran risiko iklim di
kalangan petani, yang sering menafsirkan gangguan lingkungan sebagai
sesuatu yang alami dan tak terhindarkan. Perbedaan persepsi risiko antara
pemimpin dan anggota semakin membatasi perencanaan jangka panjang.
Narasi yang digunakan untuk membenarkan keputusan Fairtrade Premium
bervariasi antar kelompok aktor: petani memandang Fairtrade Premium
sebagai hak yang layak diterima, delegasi menekankan aturan mayoritas dan
keadilan, pengurus menggunakan argumen teknis dan strategis, sementara
pengawas menyoroti masalah transparansi dan kepercayaan. Kelemahan tata
kelola, peran yang tidak jelas, pengawasan yang terbatas, dan ketakutan
terhadap konflik, memperkuat orientasi jangka pendek dan memperdalam
ketergantungan pada satu pembeli, sementara tekanan finansial mendorong
koperasi menggunakan Premium sebagai dukungan operasional, bukan
investasi strategis.
Penelitian ini memberikan kontribusi pada literatur tata kelola koperasi dan
keberlanjutan dengan menunjukkan bagaimana dinamika sistem yang saling
menguatkan, kesenjangan kapasitas, ketidakadalaan transparansi, preferensi
jangka pendek, ketergantungan pada pembeli, dan normalisasi risiko
iklim—membentuk keputusan penggunaan Fairtrade Premium pada koperasi
yang bersertifikasi Fairtrade. Secara praktis, penelitian ini menawarkan titik
ungkit dan rencana implementasi yaTerdapat kekhawatiran global yang semakin meningkat bahwa sistem pangan
saat ini tidak berkelanjutan dan bahwa produsen berskala kecil, meskipun
memegang peran sentral, menghadapi berbagai keterbatasan yang disebabkan
oleh kemiskinan, akses layanan yang terbatas, dan ketimpangan struktural
dalam pasar. Fairtrade, sebagai sebuah standar keberlanjutan yang bersifat
sukarela dan bekerja dalam skala global, berupaya mengatasi sebagian
ketimpangan tersebut dengan menyediakan harga minimum yang terjamin
dan tambahan Fairtrade Premium yang ditujukan untuk pembangunan sosial-
ekonomi dan lingkungan jangka panjang. Namun, bukti lapangan
menunjukkan bahwa hasil yang dicapai antar organisasi sangat bervariasi, dan
penggunaan serta dampak Fairtrade Premium sangat bergantung pada tata
kelola internal, representasi, dan proses pengambilan keputusan. Penelitian
ini menjawab kebutuhan praktis untuk memahami dinamika internal tersebut
dengan berfokus pada satu koperasi kopi tersertifikasi Fairtrade di Aceh yang
pernah mengalami krisis tata kelola, pencabutan sertifikasi, dan sertifikasi
ulang terkait pengelolaan Fairtrade Premium.
Penelitian ini dipandu oleh beberapa dugaan, yaitu bahwa para aktor koperasi
membuat keputusan dengan informasi yang terbatas; bahwa norma, aturan,
dan dinamika kelompok membentuk bagaimana sesuatu ditafsirkan; bahwa
struktur tata kelola koperasi dan relasi kekuasaan memengaruhi siapa yang
berpartisipasi dan siapa yang menetapkan agenda; dan bahwa faktor-faktor
tersebut secara kolektif menentukan bagaimana keputusan dinegosiasikan
dalam rapat dan akhirnya menghasilkan pola alokasi Fairtrade Premium.
Penelitian ini menggunakan desain studi kasus tunggal dengan pendekatan
kualitatif. Data dikumpulkan melalui analisis dokumen terhadap Rencana
Pengembangan Fairtrade (Fairtrade Development Plan) dan notulen rapat,
serta melalui wawancara semi-terstruktur dengan 12 partisipan yang mewakili
petani, delegasi, pengurus, pengawas, dan Komite Premium. Analisis data
mengikuti proses bertahap yang menggabungkan analisis tematik untuk
mengidentifikasi pola makna, analisis naratif untuk memahami bagaimana
para aktor menafsirkan dan membenarkan keputusan, serta Triple-Layer
Business Model Canvas (TLBMC) untuk memetakan aktivitas yang didanai
Fairtrade Premium pada dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Pendekatan sistem (system thinking) digunakan untuk mengintegrasikan
temuan ke dalam loop penguatan (reinforcing loops) yang menunjukkan
bagaimana tata kelola, transparansi, kapasitas, ketergantungan pasar, dan
persepsi iklim saling memengaruhi dari waktu ke waktu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa alokasi Fairtrade Premium dijalankan
melalui struktur demokratis formal, tetapi dibentuk dalam praktik oleh
kesenjangan kapasitas, informasi yang asimetris, dan kekuatan dalam
menentukan agenda yang berada pada manajemen. Delegasi diakui sebagai
pengambil keputusan tertinggi, tetapi literasi yang rendah dan pemahaman
yang tidak merata tentang aturan Fairtrade membuat mereka bergantung pada
manajemen. Studi ini juga menemukan bahwa para delegasi tidak menyadari
bahwa standar Fairtrade mewajibkan mereka untuk menyetujui seluruh
anggaran Fairtrade Premium. Dalam praktiknya, mereka hanya membahas
bagian yang disampaikan kepada mereka, sementara alokasi utama, termasuk
program yang didorong oleh pembeli dan biaya operasional, masuk ke dalam
Fairtrade Development Plan tanpa pengawasan demokratis. Hal ini
menghasilkan pola tata kelola di mana keputusan tampak demokratis, tetapi
secara substantif telah disaring sebelum mencapai Rapat Anggota. Hal ini
menghasilkan pola tata kelola yang tampak demokratis, namun secara
substantif sudah tersaring sebelum mencapai Rapat Anggota. Pola alokasi
sangat memihak pada manfaat jangka pendek yang bersifat individual, seperti
kebutuhan pokok dan alat kecil, dibandingkan investasi jangka panjang,
adalah akibat dari harapan atas manfaat langsung, kekecewaan terhadap
pengelolaan organisasi di masa lalu, dan rendahnya kesadaran risiko iklim di
kalangan petani, yang sering menafsirkan gangguan lingkungan sebagai
sesuatu yang alami dan tak terhindarkan. Perbedaan persepsi risiko antara
pemimpin dan anggota semakin membatasi perencanaan jangka panjang.
Narasi yang digunakan untuk membenarkan keputusan Fairtrade Premium
bervariasi antar kelompok aktor: petani memandang Fairtrade Premium
sebagai hak yang layak diterima, delegasi menekankan aturan mayoritas dan
keadilan, pengurus menggunakan argumen teknis dan strategis, sementara
pengawas menyoroti masalah transparansi dan kepercayaan. Kelemahan tata
kelola, peran yang tidak jelas, pengawasan yang terbatas, dan ketakutan
terhadap konflik, memperkuat orientasi jangka pendek dan memperdalam
ketergantungan pada satu pembeli, sementara tekanan finansial mendorong
koperasi menggunakan Premium sebagai dukungan operasional, bukan
investasi strategis.
Penelitian ini memberikan kontribusi pada literatur tata kelola koperasi dan
keberlanjutan dengan menunjukkan bagaimana dinamika sistem yang saling
menguatkan, kesenjangan kapasitas, ketidakadalaan transparansi, preferensi
jangka pendek, ketergantungan pada pembeli, dan normalisasi risiko
iklim—membentuk keputusan penggunaan Fairtrade Premium pada koperasi
yang bersertifikasi Fairtrade. Secara praktis, penelitian ini menawarkan titik
ungkit dan rencana implementasi yang berfokus pada peningkatan kapasitas
delegasi, reformasi transparansi, dan peningkatan kesadaran risiko iklim
untuk memperkuat tata kelola Fairtrade Premium jangka panjang. Temuan ini
menegaskan pentingnya menyelaraskan struktur demokratis dengan kapasitas
pengambilan keputusan yang nyata, memperbaiki aliran informasi, dan
membangun orientasi jangka panjang agar Fairtrade Premium dapat
memenuhi fungsi pembangunan yang dimaksudkan.ng berfokus pada peningkatan kapasitas
delegasi, reformasi transparansi, dan peningkatan kesadaran risiko iklim
untuk memperkuat tata kelola Fairtrade Premium jangka panjang. Temuan ini
menegaskan pentingnya menyelaraskan struktur demokratis dengan kapasitas
pengambilan keputusan yang nyata, memperbaiki aliran informasi, dan
membangun orientasi jangka panjang agar Fairtrade Premium dapat
memenuhi fungsi pembangunan yang dimaksudkan.
Perpustakaan Digital ITB