Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki transisi pasar listrik di sistem
Jawa-Bali ke model Pembeli Tunggal Independen (ISB) guna mengoptimalkan
biaya operasional dan meningkatkan efisiensi. Studi ini menilai tiga skenario,
dengan menekankan efek dari keterbatasan operasional, termasuk Faktor Kapasitas
minimum (CF) untuk pembangkit listrik PLN dan Faktor Ketersediaan per Bulan
(AFpm) untuk Produsen Listrik Independen. (IPP). Hasilnya menunjukkan bahwa
menghilangkan kendala-kendala ini dalam Skenario 3 memfasilitasi pengiriman
urutan merit yang optimal, memprioritaskan pembangkit yang efisien seperti PLTU
Jawa 7 dan Hydro Area 1, sehingga mencapai biaya operasional terendah.
Sebaliknya, Skenario 1 dan 2, yang ditandai dengan batasan yang berbeda,
menghasilkan ketidakefisienan dan biaya yang lebih tinggi.
Studi ini menyoroti hambatan legislatif yang substansial, terutama yang berasal dari
Undang-Undang No. 30/2009, yang mengkonsolidasikan pasar listrik di bawah
PLN, sehingga membatasi kerangka kompetitif seperti ISB. Kekurangan
infrastruktur, seperti integrasi energi terbarukan yang tidak memadai dan
kurangnya teknologi smart grid, menghambat pergeseran tersebut. Rekomendasi
termasuk adopsi ISB secara bertahap, perubahan regulasi, investasi dalam
peningkatan infrastruktur, dan penerapan sistem tarif yang adil yang
menyeimbangkan efisiensi dan keterjangkauan. Studi ini menemukan bahwa
pengenalan ISB dapat merevolusi pasar listrik Indonesia dengan meningkatkan
transparansi, keberlanjutan, dan kesiapan untuk kebutuhan energi di masa depan.