COVER Nirmawana Simarmata
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan
BAB 1 Nirmawana Simarmata
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan
BAB 2 Nirmawana Simarmata
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan
BAB 3 Nirmawana Simarmata
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan
BAB 4 Nirmawana Simarmata
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan
BAB 5 Nirmawana Simarmata
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan
PUSTAKA Nirmawana Simarmata
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan
LAMPIRAN
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan
Blue carbon merujuk pada karbon yang diserap dan disimpan dalam lautan dan
ekosistem pesisir di antaranya ekosistem mangrove, rawa pasang surut dan padang
lamun. Blue carbon tersimpan di atas permukaan, di bawah permukaan maupun di
dalam air. Blue carbon memiliki potensi untuk mitigasi dan mengurangi perubahan
iklim. Selain itu, blue carbon juga memberi manfaat lainnya, seperti perlindungan
pesisir dan konservasi wilayah laut. Terlepas dari potensi dan manfaatnya,
ekosistem pesisir mengalami degradasi akibat pembangunan dan perubahan
penggunaan lahan yang menyebabkan lepasnya cadangan karbon. Salah satu upaya
yang dapat dilakukan untuk pengelolaan blue carbon yakni melalui identifikasi
ekosistem pesisir yang meliputi mangrove, rawa pasang surut dan padang lamun
serta mengukur cadangan karbon yang tersimpan di dalamnya. Salah satu teknologi
untuk melakukan identifikasi ekosistem pesisir dengan menggunakan penginderaan
jauh yang mampu melakukan analisis pada cakupan wilayah yang luas secara
efisien. Teknologi penginderaan jauh kini semakin berkembang dengan integrasi
machine learning, yang mampu mengolah data dengan cepat dan akurat untuk
mengidentifikasi serta memetakan ekosistem blue carbon secara lebih rinci.
Penelitian ini diaplikasikan pada sebagian wilayah Lampung yang mencakup pantai
timur dan selatan. Tujuan penelitian ini adalah menentukan model klasifikasi
kawasan mangrove, rawa pasang surut dan padang lamun menggunakan metode
machine learning dan pemodelan geospasial estimasi blue carbon pada ekosistem
pesisir secara terintegrasi dengan akurasi tinggi. Data yang digunakan adalah citra
sentinel 2A dan pengukuran menggunakan field spektroradiometer. Penelitian ini
menggunakan metode machine learning yang terbagi atas dua tahap yaitu tahap
klasifikasi dan estimasi. Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
986 sampel. Metode untuk klasifikasi yang digunakan adalah random forest
classification sedangkan untuk penyusunan model estimasi menggunakan random
forest regression (RFR). Adapun parameter yang digunakan dalam estimasi blue
carbon adalah pantulan spektral citra, pantulan spektral pengukuran lapangan, kerapatan vegetasi, penutup lahan, kelembaban, dan indeks tanah terbuka dengan
total 26 variabel.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah peta klasifikasi dari model terbaik
yaitu model 3 dengan 26 variabel di mana ekosistem mangrove memiliki RMSE =
0,61 dan AUC = 0,85, ekosistem rawa pasang surut memiliki RMSE = 0,22 dan
AUC =0,87 serta ekosistem padang lamun memiliki RMSE = 0,18 dan AUC = 0,85.
Nilai akurasi hasil klasifikasi untuk ekosistem mangrove diperoleh nilai OA = 95%,
nilai kappa = 0,92, UA = 96% dan PA = 100%, ekosistem rawa pasang surut OA =
95%, nilai kappa = 0,92, UA = 100% dan PA = 100%, serta ekosistem padang
lamun memiliki OA = 95%, nilai kappa = 0,92, UA = 95% dan PA = 100%.
Selanjutnya hasil model geospasial estimasi blue carbon mangrove menunjukkan
bahwa model terbaik adalah Model 26 dengan 26 variabel, dengan nilai RMSE =
81,44, MAE = 39,05, R² = 0,81. Model estimasi blue carbon rawa pasang surut
diperoleh model terbaik yaitu Model 30 dengan 18 variabel yang memiliki RMSE
= 44,59, MAE = 36,23, R² = 0,85. Model estimasi blue carbon padang lamun
diperoleh model yaitu Model 11 dengan 11 variabel memiliki RMSE = 42,1, MAE
= 10,01, R² = 0,88.
Hasil akhir model estimasi blue carbon terintegrasi di ekosistem pesisir diperoleh
nilai RMSE = 46,2, MAE = 42,6 dan R2 = 0,80. Berdasarkan hasil pemodelan di
atas menunjukkan bahwa kemampuan kinerja model RFR terbukti efisien dalam
estimasi blue carbon. Hal ini memungkinkan penggunaan model ini dapat
digunakan untuk pemantauan dan pengelolaan ekosistem blue carbon secara lebih
akurat dan berkelanjutan pada ekosistem mangrove, rawa pasang surut dan padang
lamun dengan karakteristik spesies yang sama. Secara keseluruhan, penelitian ini
menunjukkan bahwa penggunaan algoritma machine learning dapat memberikan
solusi yang kuat dan efektif untuk tantangan dalam estimasi blue carbon ekosistem
pesisir.